Wani ngalah dhuwur wekasane

Bunyi-bunyian gamelan bertalu-talu ketika Pasukan Kurawa memasuki alun-alun Hastinapura. Ki Dalang ngos-ngosan setelah memerankan suara Patih Sengkuni yang sengau.

“Kita istirahat dulu. Capek ndalang dari tadi!” teriak Ki Dalang.

Para nayaga manut saja perintah Ki Dalang. Pementasan lakon menangkap Drupada memang menguras tenaga Ki Dalang, apalagi sejak tadi Ki Dalang kebelet pipis. Bergegas ia menuju toilet untuk menuntaskan hajatnya.

Sekembalinya dari toilet, kopi hitam telah tersaji untuknya. Ketika ia selesai menyeruput kopi yang masih panas itu, ada seorang anak muda menghampiri Ki Dalang. Ia peminat wayang kontemporer yang sering dipentaskan oleh Ki Dalang.

“Ki, panjenengan apa lagi bikin pasemon pilpres kemarin, ya. Kok lakon Kubu Kurawa Klaim Kemenangan mirip dengan situasi perpolitikan negeri kita tercinta. Saling klaim menang. Pripun?” tanya anak muda.

“Cerita wayang ibaratnya cermin tingkah laku manusia. Itulah hebatnya para pujangga zaman dahulu, bisa membikin cerita demikian indah, rumit dan penuh intrik. Simaklah kisah-kisah di Mahabharata atau Ramayana, tak semuanya berlagak hitam-putih namun ada juga abu-abunya!” kata KI Dalang. read more

Kubu Kurawa klaim kemenangan

Lakon ini sebagai sambungan dari Menangkap Drupada.

Berita kemenangan Kubu Pandawa menangkap Drupada segera tersebar ke seluruh pelosok Hastinapura. Rakyat pendukung Yudhistira untuk dinobatkan sebagai Pangeran Pewaris Tahta Hastinapura melakukan yel-yel kemenangan di mana-mana. Para relawan segera membuat acara penyambutan pahlawan mereka. Keberhasilan menangkap Drupada oleh para Pandawa seolah menjadi obat kecewa para pendukung Pandawa setelah acara Debat Dua Pangeran yang dibatalkan Resi Drona beberapa hari sebelumnya.

Euforia kemenangan Pandawa membuat gemas Kubu Kurawa. Mereka tak mau tinggal diam, strategi harus segera disusun dan dilaksanakan secara masif di lapangan. read more

Menangkap Drupada

Lakon ini sebagai sambunganĀ dariĀ Drona Menuntut Balas Budi.

Balairung kerajaan Pancala sangat sepi di hari Sabtu, sebab merupakan hari libur kerajaan. Tak ada pasewakan agung yang diselenggarakan oleh protokol istana. Pada hari Sabtu seperti itulah, raja Drupada bisa berduaan dengan permaisuri tercintanya yang bernama Dyah Gandawati.

Mereka berdua duduk di dekat taman. Mereka sedang menikmati indahnya pagi menjelang siang.

“Diajeng, sudah sepuluh tahun usia perkawinan kita dewata agung belum juga memberikan anugerah momongan kepada kita. Aku kuatir Pancala tidak ada yang mewarisi dari anak keturunan kita. Bagaimana pendapatmu?”

Dyah Gandawati menarik nafas dalam-dalam. Ia bingung harus menjawab apa.

“Mas Sucitra tentu masih ingat usulan saya, bukan?”

“Usulan yang mana diajeng?” read more