Muzdalifah

10 Dzulhijjah 1429 H

Saya berangkat haji ikut Kloter 44 JKS gelombang 2 – dari Jakarta langsung ke Mekkah dulu (baru nanti ke Madinah) karena waktu sudah mendekati pelaksanaan ibadah haji.

Prosesi wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1429 H kami lalui dengan lancar. Selepas maghrib kami bergerak ke Muzdalifah – area/wilayah yang terbuka di antara Mekkah dan Mina yang merupakan tempat jamaah haji diperintahkan untuk singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah, dengan menggunakan bus. Dari tanah air kami sudah diingatkan oleh Pembimbing Haji agar membawa stok kesabaran yang sangat banyak, dan terbukti saat jutaan orang berkumpul di satu tempat di saat puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina kesabaran seseorang akan diuji habis-habisan.

Menjelang tengah malam, kami sampai di Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah merupakan salah satu rukun haji. Hal pertama yang saya lakukan menggelar tikar – yang saya sebelumnya saya beli di Toko Serba 2 riyal tak jauh dari Masjidil Haram, cukup untuk duduk bertiga: saya, istri dan ibu mertua dan menaruh 3 tas tenteng warna biru dengan cap Saudi Airlines. Setelah itu saya mengambil batu kerikil untuk melempar jumroh di Mina nanti. read more

Gino mantu

Sejak Gino ditugaskan di pantry lantai 5, mas Suryat jarang bertemu muka dengannya. Komunikasi dengannya dilakukan dengan WA, terutama urusan penyediaan makan siang. Kali ini WA Gino ke mas Suryat agak berbeda: ingin menghadap.

“Seminggu ke depan saya cuti pak. Untuk urusan makan siang bapak pesan saja ke yang lain,” ujar Gino membuka percakapan. Ia duduk manis di depan mas Suryat, tangannya menggenggam sebuah amplop undangan.

Arep ana acara apa, kok cuti?” tanya mas Suryat.

Badhe mantu, pak!” jawab Gino sambil mengulurkan amplop undangan yang digenggamnya itu. “Daripada anaknya pacaran wae, sekalian saja saya nikahkan pak.”

read more

Saldo nol

Jangan mudah menerima kebaikan orang lain, karena siapa tahu kita tidak bisa membalas kebaikan itu. Bisa jadi orang yang memberikan kebaikan tadi menganggap diri kita tak tahu diri, apalagi jika orang tersebut ada pamrih di balik pemberian kebaikan tadi. Ujung-ujungnya tidak mengenakkan hati dan lama-lama tumbuh suatu kebencian.

Siapa sih yang tak senang dibantu orang lain ketika kita sedang mengalami suatu kesulitan? Apalagi jika kesulitan itu terkait utang-piutang!

***

Zaman berubah dengan sangat cepat, namun perubahan itu ndak sebanding dengan kecepatan bertambahnya penghasilan kita setiap bulannya. Apakah gaji tersebut akan dapat menutupi kebutuhan hidup yang makin banyak? Apakah gaji tersebut akan bersaldo cukup untuk sedikit nambah tabungan atau selalu bersaldo nol? Ah, ngomongin gaji sih nggak ada habis-habisnya. Intinya mah, saldo nol ndak apa-apa asal semuanya telah tercukupi. Pendapatan sama dengan pengeluaran. Bak-buk. read more