Muzdalifah

10 Dzulhijjah 1429 H

Saya berangkat haji ikut Kloter 44 JKS gelombang 2 – dari Jakarta langsung ke Mekkah dulu (baru nanti ke Madinah) karena waktu sudah mendekati pelaksanaan ibadah haji.

Prosesi wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1429 H kami lalui dengan lancar. Selepas maghrib kami bergerak ke Muzdalifah – area/wilayah yang terbuka di antara Mekkah dan Mina yang merupakan tempat jamaah haji diperintahkan untuk singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah, dengan menggunakan bus. Dari tanah air kami sudah diingatkan oleh Pembimbing Haji agar membawa stok kesabaran yang sangat banyak, dan terbukti saat jutaan orang berkumpul di satu tempat di saat puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina kesabaran seseorang akan diuji habis-habisan.

Menjelang tengah malam, kami sampai di Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah merupakan salah satu rukun haji. Hal pertama yang saya lakukan menggelar tikar – yang saya sebelumnya saya beli di Toko Serba 2 riyal tak jauh dari Masjidil Haram, cukup untuk duduk bertiga: saya, istri dan ibu mertua dan menaruh 3 tas tenteng warna biru dengan cap Saudi Airlines. Setelah itu saya mengambil batu kerikil untuk melempar jumroh di Mina nanti.

Cuaca saat itu bersahabat bahkan cenderung dingin untuk suhu di awal bulan Desember. Sambil menunggu bus yang akan membawa kami ke Mina, saya tiduran sambil menerawang ke angkasa menyaksikan jutaan bintang yang bergelantungan di langit malam. Sesekali saya memasang telinga ketika toak Kepala Rombongan/Karom mengumumkan sesuatu terkait persiapan keberangkatan menuju Mina.

Saat melewati waktu tengah malam, kami diminta untuk membuat antrian menuju pintu keluar – area Muzdalifah dibatasi dengan pagar yang disediakan pintu masuk dan pintu keluar. Nah, di saat antri inilah kesabaran kembali diuji. Semua orang sepertinya ingin buru-buru untuk segera masuk ke dalam bus. Para jamaah sepuh ikut antri, kepayahan. Karom mengambil inisiatif bagi jamaah yang sudah sepuh dan pendampingnya dapat prioritas masuk bus duluan.

Ibu mertua bersama istri saya segera keluar antrian untuk maju ke depan. Mereka lupa membawa serta tas tentengnya. Saya pun membawa 3 tas tenteng di antrian menuju bus.  Menjelang subuh saya mencapai tenda di Mina dan berkumpul kembali dengan istri dan ibu mertua.

Setelah istirahat dan beres-beres di tenda Mina, rombongan kami berangkat ke Jamarat untuk melempar jumrah Aqobah dan sesudahnya kami tahalul lalu melepas pakaian ihram.

***

Mencermati berita 2 hari belakangan ini (baik di medsos maupun media online), banyak jamaah haji Indonesia yang terlantar di Muzdalifah. Bahkan sampai hampir tengah hari ada jamaah yang belum terangkut ke Mina, apalagi suhu udara sedang dalam kondisi panas ekstrem.

Sangu kesabaran bagi jamaah haji musim ini sepertinya harus selalu di-top up agar saldo sabar tetap ada. Semoga jatah makan di Mina tidak kembali mengecewakan jamaah haji. Mereka perlu asupan gizi dan nutrisi yang baik dan seimbang, karena ibadah fisik haji belum selesai hingga nanti mereka melaksanakan tawaf wada.