Sejak Gino ditugaskan di pantry lantai 5, mas Suryat jarang bertemu muka dengannya. Komunikasi dengannya dilakukan dengan WA, terutama urusan penyediaan makan siang. Kali ini WA Gino ke mas Suryat agak berbeda: ingin menghadap.
“Seminggu ke depan saya cuti pak. Untuk urusan makan siang bapak pesan saja ke yang lain,” ujar Gino membuka percakapan. Ia duduk manis di depan mas Suryat, tangannya menggenggam sebuah amplop undangan.
“Arep ana acara apa, kok cuti?” tanya mas Suryat.
“Badhe mantu, pak!” jawab Gino sambil mengulurkan amplop undangan yang digenggamnya itu. “Daripada anaknya pacaran wae, sekalian saja saya nikahkan pak.”
Sekira 3 tahun lalu Gino pernah datang ke mas Suryat untuk minta tolong mencarikan kerja untuk anak gadisnya yang lulusan SMK jurusan jaringan komputer itu. Sempat kontrak kerja setahun – karena tidak betah bekerja di bawah tekanan – ia memutuskan ngagoleran di rumah saja.
Aktivitas sehari-hari anak gadisnya itu membuat Gino judeg bin mumet.
“Calon mantumu nyambut gawe di mana, No?”
“Serabutan pak. Sing penting bocahe wis pada senenge. Besan saya ya tetangga sendiri kok pak.”
“Ya ndak papa, No. O iya, persiapane wis seratus persen kan?”
“Sampun pak!”
Sumringah betul wajahnya Gino.
Mas Suryat ingat betapa Gino sayang kepada anak mbarepnya ini. Ia yang hanya lulusan SD tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya makanya ia menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Pernah pas lulus SMK Gino menawarinya untuk melanjutkan ke akademi – mas Suryat menyanggupi bantu-bantu dikit biayanya – namun anaknya emoh, pengin kerja saja. Ya sudah, dituruti saja.
Arkian pada hari H-nya, mas Suryat njagong ke hajatan Gino untuk memberikan doa restu bagi kedua mempelai.
Gino telah menambah panjang daftar kolega mas Suryat yang sudah berhajat mantu, kapan giliran mas Suryat?