Boncengan

Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Kalau tidak punya lilin, nyalakan hapemu pada flashlight mode on. Saya sering mempraktekkan ungkapan orang bijak tersebut dalam situasi yang saya alami, toh jika saya mengutuk atau sekedar mengumpat, hal itu tidak akan menyelesaikan masalahnya – misalnya di tengah kemacetan.

Hujan dan kemacetan menjadi pasangan abadi di sebuah kota industri, hatta disempurnakan dengan kondisi jalan mirip rempeyek. Tidak hujan saja macet, apalagi hujan. Sebuah kalimat kutukan ya?

Nah, daripada nggerundel seperti itu saya memilih naik motor, selain menghindari titik-titik macet bisa melewati banyak alternatif jalan menuju ke tempat kerja. Setidaknya 2 tahun belakangan saya konsisten naik motor, pergi-pulang kerja. Saya berboncengan dengan anak perempuan saya yang kebetulan tempat kerja kami dalam area dan arah yang sama.

Syahdan, kami berangkat dari rumah jam 7 pagi. Nanti sekira jam 7.20-an sampai di tempat kerja saya yang berjarak kisaran 7 km dari rumah. Setelah ngedrop saya, ia akan melanjutkan perjalanan ke tempat kerjanya yang berjarak 8 km dari tempat kerja saya. Sore harinya, ia kembali samperin saya untuk bersama-sama pulang ke rumah.

Jarak sepanjang 7 km yang kami tempuh dalam waktu ‘sesingkat’ itu tentu saja tidak melewati jalan utama yang macet, tetapi jalan alternatif yang setiap melewati diwarnai dengan aneka drama. Setidaknya, kami melewati 2 jembatan penyebarangan Sungai Citarum yang dikelola oleh warga setempat alih-alih jembatan yang aman dan nyaman tetapi jembatan yang dibikin di atas rangkaian perahu. Jika level air Citarum sedang tinggi, jembatan akan semakin panjang. Bahkan pernah kami tidak dapat melintas – penyeberangan ditutup sementara – karena kondisi air Citarum yang sangat tinggi sehingga jembatan penyeberangan tidak bisa berfungsi dengan baik dan berpotensi membahayakan penggunanya.

Setiap melintasi jembatan dikenakan tarif 2000 rupiah sekali lintas. Sehari kami mesti menyiapkan dana ekstra 8000 rupiah. Sebuah biaya untuk ‘menyalakan lilin’.

Dari rumah menuju jembatan perahu pertama (Penyeberangan Barokah), sesekali bersimpangan dengan bus-bus antar jemput karyawan atau truk angkutan industri. Selanjutnya sepanjang jalan kami bertemu dengan ribuan motor yang sama-sama mengejar waktu supaya tidak terlambat masuk pabrik atau tempat kerja. Arkian, kami akan antri rapi untuk melintasi jembatan perahu kedua (Penyeberangan H. Endang). Selepas penyeberangan H. Endang kami akan bertemu dengan jalan menuju kawasan industri yang melintas ratusan kendaraan R4, ribuan R2, bus karyawan, forklift, truk besar-besar, gerobak dorong, atau pesepeda yang berkeringat sehat namun menghirup asap kelabu yang keluar dari knalpot kendaraan tua.

Tak perlu mengumpat, nikmati saja!