Petrichor

Selepas maghrib – dua minggu lalu, hujan turun untuk pertama kali setelah kemarau berkepanjangan. Aroma khas air hujan yang membasahi bumi malam itu membuat aku keluar rumah, menghirupnya dalam-dalam.

Syahdan hujan yang sebentar itu setidaknya telah meluruhkan debu yang menempel di atap rumah dan pada daun-daun tetumbuhan. Tentu saja, juga membahasi jiwa yang mulai putus asa menanti datangnya musim penghujan. Matur nuwun Gusti, rahmat-Mu turun melalui hujan.

***

Pada hujan berikutnya, aku jadi ingat salah satu kajian Gus Baha di kanal yutub bahwa tidak ada yang murni halal di dunia ini, kecuali satu yang paling halal yakni air hujan. Tentu saja, air hujan dari langit yang ditadah langsung dengan mulut tanpa perantara.

Maka aku berdiri di halaman rumah dengan menengadahkan ke arah langit dengan mulutku yang terbuka. Setetes demi setetes air hujan masuk ke dalam mulutku, kemudian aku menelannya pelan-pelan. Bisa jadi air hujan yang masuk ke dalam perutku ini satu-satunya rejeki yang halal dibandingkan dengan rejeki berupa makanan/minuman selama ini konsumsi sepanjang umurku.

***

Setelah itu, hujan sering turun dan sesekali disertai dengan angin kencang. Hujan adalah rejeki bagi makhluk penghuni bumi. Ia akan membasahi tanah tandus lalu bergerak menjadi subur kemudian menghidupkan dan menumbuhkan aneka tanaman. Hujan juga memberikan air yang melimpah sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan segala yang berhampar di bumi.

Sudahkah engkau membersihkan selokan di sekitar rumahmu, kawan?