Perempuan yang sebetulnya belum tua betul itu, membetulkan letak susur-nya. Buntalan tembakau sebesar telur ayam kampung yang disebut susur itu disumpalkan ke dalam mulutnya untuk dikulum-kulum. Kegiatan yang disebut nginang ini lazim dilakukan oleh perempuan Jawa zaman dulu. Prosesi nginang didahului dengan mengunyah daun sirih yang dibumbui dengan biji pinang/jambe, gambir dan olesan kapur sirih/injet. Daun sirih yang dikunyah-kunyah di dalam mulut tadi, ketika bercampur dengan air liur mengakibatkan warna air liur berwarna merah darah. Orang Jawa menyebutnya dubang, idu abang/ludah yang berwarna merah. Untuk menampung dubang, orang yang nginang akan menyediakan semacam mangkuk kecil yang disebut dengan paidon.
Ia menerawang ke arah halaman rumah, sesekali mencabut susur-nya lalu meludah ke paidon yang terbuat dari kuningan yang ia taruh di bawah bale-bale. Nama perempuan yang berperawakan kurus itu adalah Cangik. Entahlah kenapa bapaknya dulu menamakan dirinya demikian. Kini, ia telah mempunyai anak gadis yang berumur sembilan belas tahun, Limbuk namanya.
Berbeda dengan ibunya yang berbadan kurus, tubuh Limbuk subur-makmur bahkan cenderung tinggi besar. Wajahnya lebar, dan kelihatan semakin lebar karena ia suka berpakaian a la kembenan atau bertelanjang pundak. Ya, memang demikian adat berpakaian perempuan Jawa zaman dulu. read more