Mendesak Tuhan

Lelaki bertubuh gempal itu tiba-tiba ingat kepada Tuhannya, lalu ia berdoa:

Wahai Tuhan, aku mendesak-Mu untuk menciptakan sebuah keajaiban: aku menjadi presiden! Engkau tentu mengetahui, berbagai upaya telah aku tempuh. Habis sudah harta-bendaku, kering sudah keringatku, remuk-redam tulang belulangku, hanya untuk satu tujuan menjadi pemimpin di negeri yang sangat aku cintai ini. Kini hanya tinggal satu cara saja yakni merayu-Mu bolehlah jika Engkau sudi meluangkan waktu-Mu untuk mengubah takdir: semua orang lupa dan tiba-tiba ingat kalau aku ini presiden mereka. Tentu hal ini sangat mudah bagi-Mu, bukan?

Wahai Tuhan, tidakkah Engkau mengamati sepak terjangku dua tahun belakangan ini. Saban hari aku muncul di televisi mengiklankan diri. Aku sesumbar mirip tokoh panutanku: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis. Hampir tak ada waktu luang bagiku untuk memanjakan diri. Aku berkeliling ke pelosok negeri terbang bagaikan garuda. Mengepakkan sayap di angkasa, sementara bayang-bayangku di bawah sana memberikan kesejukan untuk bernaung dari terpaan terik matari.

Wahai Tuhan, apakah masih kurang upayaku di mata-Mu untuk mengubah garis nasibku? Aku sangat mencintai negeriku ini. Aku ingin merengkuh kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat yang kelak aku pimpin. Niatku tidak berlebihan, bukan? read more

E, dhayohe teka

Setahun tinggal di Jogja, kosakata bahasa Jawanya Kika sudah bertambah banyak dan bahkan ia sudah berani mempraktekkan dalam percakapan sehari-hari meskipun bercampur dengan bahasa Indonesia. Ketika di rumah, ia belajar mengenal bahasa Jawa dari percakapan ayah-ibunya atau mendengar lagu-lagu Jawa yang saya putar atau mengintip lewat majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat yang saban seminggu sekali dikirim ke rumah.

Suatu ketika, ia bertanya apa makna tembang ilir-ilir. Saya kesulitan menjelaskan kepadanya secara opo anane kata perkata kata, tetapi langsung satu kalimat dan itu pun hanya tafsirannya saja. Kemudian pada kesempatan itu saya menceritakan kalau anak-anak Jawa sejak dulu mempunyai nyanyian kebangsaaan yang disebut tembang dolanan, di mana ilir-ilir masuk di dalamnya. read more

Ia yang mempermalukan dirinya sendiri

Suasana kantor saya riuh-rendah ketika TV menayangkan Breaking News. Pak Bowo berpidato di tengah KPU sedang menyelesaikan rekapitulasi suara tingkat nasional. Semua pemirsa TV dengan takzim mendengarkan Pak Bowo yang dengan lantang menyuarakan kekesalan hatinya karena kalah tanding dalam Pilpres 2014.

“Ya Allah, lapangkanlah hatiku melihat kebodohan orang itu,” ujar seorang kolega usai menyaksikan TV. Ia beranjak dari kerumuman sebab ia berasa sangat eneg setelah mendengar pernyataan Pak Bowo.

Saya mengikuti langkahnya.

“Ia telah mempermalukan dirinya sendiri. Katanya pejuang demokrasi, kenapa malah bersikap pengecut seperti itu? Mana ujud macan Asian yang selalu digembar-gemborkan itu?” saya bergumam namun didengar juga oleh kolega saya itu.

Kolega saya menoleh, baru sadar kalau saya berada di belakangnya.

“Sejatinya, rakyat sudah melupakan coblosan tanggal 9 Juli yang lalu. Tinggal menunggu siapa yang bakal menjadi presiden. Duh Gusti, Engkau telah menunjukkan kuasa-Mu dengan kejadian hari ini,” kata kolega saya sambil mengelus dadanya. read more