Di depan mushola sebuah pabrik, tempat di mana saya bekerja dua puluh tahunan ini, baru saja saya menyelesaikan shalat dzuhur. Pundak saya ditepuk oleh teman yang tadi menjadi imam shalat. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan ustadz.
“Kok nggak ikutan demo kenaikan UMK?” sapanya.
“Males, Tadz. Kalau saya pikir-pikir cuma dapat capeknya saja. Saya mau seperti ustadz, tenang bekerja nggak disibukkan dengan dema-demo rutin saban tahun,” tukas saya.
“Apa sih enaknya, gaji naik tetapi dengan cara demo menekan pemerintah atau pengusaha? Apalagi berteriak-teriak kalau kita sebagai buruh dizalimi oleh pengusaha. Saya mau tanya, betulkah bos yang punya pabrik ini menzalimi buruhnya?” tanya Ustadz. read more