Suasana kantor saya riuh-rendah ketika TV menayangkan Breaking News. Pak Bowo berpidato di tengah KPU sedang menyelesaikan rekapitulasi suara tingkat nasional. Semua pemirsa TV dengan takzim mendengarkan Pak Bowo yang dengan lantang menyuarakan kekesalan hatinya karena kalah tanding dalam Pilpres 2014.
“Ya Allah, lapangkanlah hatiku melihat kebodohan orang itu,” ujar seorang kolega usai menyaksikan TV. Ia beranjak dari kerumuman sebab ia berasa sangat eneg setelah mendengar pernyataan Pak Bowo.
Saya mengikuti langkahnya.
“Ia telah mempermalukan dirinya sendiri. Katanya pejuang demokrasi, kenapa malah bersikap pengecut seperti itu? Mana ujud macan Asian yang selalu digembar-gemborkan itu?” saya bergumam namun didengar juga oleh kolega saya itu.
Kolega saya menoleh, baru sadar kalau saya berada di belakangnya.
“Sejatinya, rakyat sudah melupakan coblosan tanggal 9 Juli yang lalu. Tinggal menunggu siapa yang bakal menjadi presiden. Duh Gusti, Engkau telah menunjukkan kuasa-Mu dengan kejadian hari ini,” kata kolega saya sambil mengelus dadanya.
“Seandainya Pak Bowo yang menang menjadi presiden, entah menjadi apa Indonesia nanti,” sambung saya.
Ia tersenyum, tapi ditahan.
“Kalau sudah pulungnya Jokowi mendapatkan Wahyu Cakraningrat, siapa pun tak mampu menghalanginya. Bersikap legawa jauh lebih terhormat!” katanya menahan emosi.
“Saya sebetulnya membayangkan Pak Bowo akan bersikap seperti Penangsang yang dikalahkan Joko Tingkir pada pertempuran di tepi Bengawan Sore. Mengakui kekalahan. Hhh…!” saya masih geram.
Entah apa yang membuat saya geram. Meskipun di Pilpres kemarin saya ndak nyoblos nomor 1 tetapi saya kecewa dengan sikap Pak Bowo. Sangat disayangkan, ternyata Jokowi kemarin bertanding bukan dengan seorang ksatria sejati. Pak Bowo bukan levelnya Jokowi!
“Kenapa sampeyan malah menghela nafas panjang, Mas?” tanya kolega saya.
“Saya kuatir luka pilpres ini akan tetap membelah rakyat menjadi dua, seperti yang terjadi belakangan ini,” keluh.
“Ndak usah kuatir berlebihan, Mas. Gejolak tidak terjadi di tingkat rakyat tetapi di elit politiknya. Justru nanti kita yang akan terhibur oleh ulah mereka,” papar kolega saya.
“Terhibur bagaimana?” tanya saya penasaran.
“Komedi perpolitikan di Indonesia akan semakin lucu dibandingkan periode lima tahun sebelumnya,” kata kolega saya sambil tersenyum lepas.
“Terus, Jokowi piye?” tanya saya lagi.
“Ia akan jadi presiden sing mumet sirahe!” jawab kolega saya sambil melambaikan tangannya.
Gara-gara pidato Pak Bowo, jam kantor saya dipercepat pulangnya.