Tiga kasih tak sampai

[1]

Hayam Wuruk, raja Majapahit yang masih bujangan itu ingin punya permaisuri. Kriteria yang ia tetapkan, istrinya mesti cantik, setidaknya secantik Supraba – bidadari yang bersemayam di Kahyangan Jonggringsaloka sana. Maka, ia sebarkan telik sandi dan pelukis ke seluruh antero Nusantara untuk mencari gadis seperti idaman raja junjungan rakyat Wilwatikta itu.

Adalah Sungging Prabangkara pelukis andalan istana Majapahit menjejakkan kaki di Tanah Sunda. Ia menemukan seorang gadis yang cantiknya membuat cemburu para bidadari. Gadis itu anak perempuan Raja Sunda. Dyah Pitaloka Citraresmi namanya. Tak mau menyia-nyiakan waktu, Sungging Prabangkara menuangkan kecantikan Pitaloka ke kanvas dan mengirimkannya kepada Hayam Wuruk.

Raja Majapahit jatuh cinta kepada sosok yang dilukis oleh Prabangkara. Maka ditetapkanlah hari bertemunya dua pengantin yang berasal dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit. read more

Kehilangan kata-kata

Ada dua cicak sedang bersenda gurau. Cicak jantan dan betina. Obrolannya membuat keduanya tertawa lepas. Cicak jantan makin berani merayu cicak betina. Lagi-lagi terdengar derai tawa mereka. Tak lama, datanglah cicak ketiga yang merasa terganggu oleh tingkah dan berisik suara keduanya. Cicak betina terkejut, sebab yang datang itu kekasihnya sambil bersungut-sungut lalu menegurnya, “Asyik betul ngobrolnya, katanya sedang kehilangan kata-kata?!

Lalu, cicak jantan kekasih cicak betina itu membentak cicak jantan yang tadi bercanda dengan kekasihnya. Ada nada cemburu di suaranya. Cicak jantan bergeming, malah menantang cicak jantan kekasih cicak betina. Terjadilah perkelahian di antara keduanya. Cicak betina diam seribu bahasa, sebab ia kehilangan kata-kata.

Melihat adegan tersebut, Prabu Anglingdarma tertawa di atas pembaringannya. Ia menyaksikan babak demi babak drama tiga cicak di dinding kamar istananya itu menjelang tidur malamnya. Setyawati, permaisuri Kerajaan Malawapati yang hampir terlelap di samping suaminya itu terbangun mendengar suara tawa Prabu Anglingdarma. read more

Surga (ada) di bumi

Prolog [diambil dari bagian akhir dongeng Bidadari Lemu]:

Dengan susah payah, Joko Tarub membawa perempuan bertubuh subur itu ke tepi telaga. Ia menepuk-nepuk pipi tembam bidadari supaya siuman dari pingsannya.

“Siapa kamu?” tanya bidadari subur-makmur, kaget ada seorang lelaki di sampingnya.

“Tenang. Aku yang menolongmu dari tenggelam di tengah telaga itu. Namaku Joko Tarub. Kamu siapa?” jawab Joko Tarub.

“Namaku Nawangwulan,” katanya pelan, lalu pingsan lagi.

Lêmu tenan, kiyi,” gumam Joko Tarub.

~0Oo~

Bidadari lemu ginak-ginuk itu diangkat oleh Joko Tarub dengan mengeluarkan kekuatan penuh. Tak lupa, ia mengamankan selendang milik Nawangwulan. Kalau Nawangwulan sadar dan meminta selendangnya bisa berabe, ia akan ditinggal terbang ke kahyangan padahal diam-diam ia tertarik kepada bidadari yang kini dalam pelukannya itu.

Meskipun dengan berjalan terseok-seok, akhirnya mereka sampai juga di gubuk Joko Tarub dan disambut oleh ibunya yang sudah renta. Segera saja perempuan tua itu membalurkan aneka rempah untuk menyadarkan Nawangwulan dari pingsannya.

“Di mana aku?” tanya Nawangwulan setelah siuman.

Bergegas ibu Joko Tarub mendekat dan menyodorkan minuman hangat. Nawangwulan terlihat lebih segar.

“Kamu berada di rumahku, cah ayu,” jawab ibu Joko Tarub. read more