Tiga kasih tak sampai

[1]

Hayam Wuruk, raja Majapahit yang masih bujangan itu ingin punya permaisuri. Kriteria yang ia tetapkan, istrinya mesti cantik, setidaknya secantik Supraba – bidadari yang bersemayam di Kahyangan Jonggringsaloka sana. Maka, ia sebarkan telik sandi dan pelukis ke seluruh antero Nusantara untuk mencari gadis seperti idaman raja junjungan rakyat Wilwatikta itu.

Adalah Sungging Prabangkara pelukis andalan istana Majapahit menjejakkan kaki di Tanah Sunda. Ia menemukan seorang gadis yang cantiknya membuat cemburu para bidadari. Gadis itu anak perempuan Raja Sunda. Dyah Pitaloka Citraresmi namanya. Tak mau menyia-nyiakan waktu, Sungging Prabangkara menuangkan kecantikan Pitaloka ke kanvas dan mengirimkannya kepada Hayam Wuruk.

Raja Majapahit jatuh cinta kepada sosok yang dilukis oleh Prabangkara. Maka ditetapkanlah hari bertemunya dua pengantin yang berasal dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit.

Di Alun-alun Bubat, rombongan pengantin Kerajaan Sunda ditelikung oleh prajurit Mahapatih Gajah Mada. Satu persatu tumbang oleh anak panah, tak terkecuali ayah dan ibu Pitaloka. Sungguh, tindakan yang sangat kejam. Pitaloka tak tahan. Ia menghunjamkan keris mungilnya ke jantungnya.

Hayam Wuruk patah hati. Patah sepatah-patahnya.

[2]

Pranacitra linglung. Hampir sebulan ia ditinggal pergi oleh Rara Mendut, kekasih tambatan hati. Tanpa kabar. Ia bertanya kepada lautan, ke mana gerangan perginya gadis pesisir pantau nan jelita itu?

Tanpa setahu Pranacitra, sepasukan prajurit Mataram atas suruhan Tumenggung Wiroguna menculik Rara Mendut untuk dijadikan selir tercintanya. Wiroguna gelap asmara, ketika ia blusukan di pesisir pantai utara ia mendapati seorang gadis cantik tengah menjemur ikan asin. Jatuh cinta kepada gadis desa. Jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya.

Wiroguna mendatangi rumah gadis itu, dan ia berterus terang kepada orang tua Rara Mendut menyampaikan hasratnya. Rara Mendut menolak kehendak Wiroguna.

Penolakan yang berbuntut penculikan.

Rara Mendut terkurung di istana Wirogunan. Pencarian Pranacitra menemukan jejak Rara Mendut. Secara diam-diam sepasang kekasih ini selalu bertemu untuk melunaskan rindu.

Malang tak dapat ditolak. Wiroguna mencium pertemuan yang dilakukan sembunyi-sembunyi tersebut. Mendidik darah cemburu Wiroguna. Ketika Pranacitra dan Rara Mendut terlena oleh api asmara yang mereka sulut, ujung keris Wiroguna yang terbaluri warangan bisa ular ganas secepat kilat menghunjam ke punggung Pranacitra dan tembus melukai dada Rara Mendut. Iya, begitu, wong keduanya sedang berpelukan erat.

Keduanya tewas seketika.

[3]

Syahdan,  Bandung Bondowoso seorang raja muda gagah perkasa dan begitu tampan baru saja memenangkan peperangan berhasrat menjadikan Roro Jonggrang, putri mendiang Raja Boko yang telah dibunuhnya, sebagai istrinya. Jonggrang gemetar ketakutan saat Bandung meminangnya. Dalam benaknya yang sedang kusut, ia terima pinangan Bandung tetapi dengan satu syarat: ia akan mau menerima pinangan sang raja muda itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu malam. Tidak mungkin bagi Jonggrang untuk menampik  kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan, karena kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan penguasa kerajaan Pengging itu dan dengan demikian berarti ia bukan lagi orang yang merdeka.

Terhadap persyaratan itu Bandung menyanggupinya, dan hal ini sangat mengherankan Jonggrang. Sesuatu pekerjaan yang mustahil dapat dilakukan oleh seseorang, bahkan orang sakti sekalipun.

“Jonggrang, tunggulah di sini, aku akan segera memulai membangun seribu candi seperti yang kamu inginkan!” kata Bandung sambil berlalu meninggalkan Jonggrang yang masih belum percaya atas ucapan Bandung.

”Tapi, Bandung….” Jonggrang ingin mengatakan sesuatu isi hatinya. Tapi Bandung sudah keburu pergi meninggalkannya seorang diri. Di hati Jonggrang yang paling dalam, ia takjub kepada Bandung kenapa ia tidak memperlakukannya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin, padahal Bandung bisa saja memaksanya menjadikan istrinya.

Di tanah lapang, Bandung Bondowoso menyusun batu untuk menegakkan sebuah candi. Berpuluh-puluh, beratus-ratus candi telah terbangun, bahkan sampai lewat tengah malam ia bekerja dengan sangat keras. Aneh sekali, ia tak merasa lelah, apakah ini karena kekuatan cintanya kepada Jonggrang? Tidak ada waktu untuk merenung. Dihitungnya candi yang telah ia bangun, sudah mencapai 999 candi, kurang 1 candi lagi.

Sayup-sayup terdengar suara-suara pagi datang dari jauh. Ia dongakkan kepalanya ke arah ufuk timur, ia tidak melihat warna fajar. Tetapi ia tahu ia telah gagal memenuhi persyaratan Jonggrang. Bandung tidak berhasil menyelesaikan 1.000 candi dalam waktu yang ditentukan.

Tidak lama kemudian, Jonggrang datang ke tempat Bandung membangun candi-candinya. Ia melihat Bandung yang sedang menyelesaikan candi ke-1000.

Jonggrang menghampiri dan berkata, “Bandung, kamu telah gagal. Dengan demikian pinanganmu pun dengan sendirinya tertolak olehku”.

 “Iya Jonggrang, aku sudah berusaha. Ternyata pagi telah datang lebih cepat. Tetapi izinkanlah aku menyelesaikan candi ke-1000 ini, aku tinggal membuat satu arca, yang berwujud dirimu,” kata Bandung sambil mengambil sebongkah batu yang akan ia gunakan untuk membuat arca Jonggrang.

Pahat pun menari-nari indah di batu itu, tak begitu lama bentuk tubuh seseorang telah tampak di sana. Dari kejauhan mata Jonggrang menyaksikan tangan kekar Bandung yang sedang menyelesaikan pekerjaanya. Entah perasaan apa yang sedang bergolak di hati Jonggrang, ia pun berlari meninggalkan tempat itu menuju istananya.

Dengan tekun, Bandung mereka-reka bentuk dan rona wajah Jonggrang. Memang ajaib, patung itu bak pinang dibelah dua dengan Jonggrang.

“Dengan kekuatan cintamu Jonggrang, aku telah menyelesaikan maha karyaku”, Bandung bergumam sendirian. Arca Jonggrang diletakkan di candi ke-1000, candi yang paling besar. Ditatap dan diusapnya wajah cantik Jonggrang, keringat di tangannya membasahi arca Jonggrang. Dengan keletihan luar biasa yang dideritanya, Bandung pergi meninggalkan candi. Pagi belum juga menampakkan wujud aslinya. Bandung tidak mau berpaling ke belakang lagi, ia mengikuti langkah-langkah kakinya. Ia telah kalah bertaruh dengan egonya untuk memenangkan cintanya.

Sementara itu, di peraduannya Jonggrang demikian gelisah memikirkan Bandung. Segera saja ia beranjak dan berlari menuju candi. Jonggrang juga merasa mencintai Bandung, tapi ia terlambat menyadarinya. Candi telah kosong tidak ada siapa-siapa, hanya arca yang sangat mirip dirinya. Dipeluknya arca itu, ia menangis memanggil nama Bandung yang telah pergi ditelan bumi dengan membawa kekalahannya. Ia menyesali mengapa harus merekayasa datangnya pagi. Mestinya Bandung bisa memenuhi persyaratannya sehingga cintanya bersatu dengan cinta Bandung.

Cinta yang datang terlambat susah untuk disatukan.

Jonggrang memohon kepada Dewata agar ia disatukan dengan Bandung. Rupanya Dewata tidak sedang berpihak kepadanya, bahkan Dewata menyuruhnya untuk meleburkan jiwa dan raganya dengan arca di hadapannya.

Jonggrang patuh, tidak ada pilihan baginya.

Lagu latar Suatu Malam Ketika Aku Merindumu oleh Diasti Rizkyta Ramadhani