Kehilangan kata-kata

Ada dua cicak sedang bersenda gurau. Cicak jantan dan betina. Obrolannya membuat keduanya tertawa lepas. Cicak jantan makin berani merayu cicak betina. Lagi-lagi terdengar derai tawa mereka. Tak lama, datanglah cicak ketiga yang merasa terganggu oleh tingkah dan berisik suara keduanya. Cicak betina terkejut, sebab yang datang itu kekasihnya sambil bersungut-sungut lalu menegurnya, “Asyik betul ngobrolnya, katanya sedang kehilangan kata-kata?!

Lalu, cicak jantan kekasih cicak betina itu membentak cicak jantan yang tadi bercanda dengan kekasihnya. Ada nada cemburu di suaranya. Cicak jantan bergeming, malah menantang cicak jantan kekasih cicak betina. Terjadilah perkelahian di antara keduanya. Cicak betina diam seribu bahasa, sebab ia kehilangan kata-kata.

Melihat adegan tersebut, Prabu Anglingdarma tertawa di atas pembaringannya. Ia menyaksikan babak demi babak drama tiga cicak di dinding kamar istananya itu menjelang tidur malamnya. Setyawati, permaisuri Kerajaan Malawapati yang hampir terlelap di samping suaminya itu terbangun mendengar suara tawa Prabu Anglingdarma.

“Kenapa Kangmas tertawa di tengah malam seperti ini? Adakah yang lucu pada istrimu? Tubuhku mulai gendutkah? Pipiku mulai tembamkah?” ujar Setyawati sambil duduk menatap wajah suaminya.

Nggak….. nggak… yang lucu bukan dirimu. Itu, tiga cicak di dinding itu!” jawab Anglingdarma menunjuk ke arah tiga cicak.

“Apanya yang lucu? Kakang pasti bohong!” Setyawati melontarkan kemarahannya. “Lebih baik aku melakukan pati obong kalau kakang tidak mau berterus terang!”

Anglingdarma kehilangan kata-kata. Ia kesulitan memahami sikap istrinya. Hanya masalah sepele seperti itu saja permaisurinya memilih pati obong, bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke dalam api. Sepele bagi Anglingdarma, namun sangat serius bagi Setyawati. Ia merasa tidak dihargai oleh suaminya.

Prabu Anglingdarma sudah kadung berjanji kepada Raja Ular Naga yang sudah memberinya ilmu Aji Gineng – sebuah ajian untuk memahami bahasa binatang – untuk tidak mengatakan kepada siapa pun, termasuk istrinya, bahwa ia telah menguasai ilmu tersebut. Anglingdarma lebih memilih pati obong bersama Setyawati.

Arkian, api unggun telah dinyalakan. Apinya menari-nari siap melumatkan apa saja. Anglingdarma dan Setyawati berdiri di panggung siap melompat ke dalam kobaran api. Upacara pati obong dilaksanakan di alun-alun Malawapati, sehingga rakyat Kerajaan Malawapati tak mau ketinggalan menyaksikan raja dan permaisuri melakukan bunuh diri bersama. Di antara kerumunan rakyat, ada sepasang kambing yang merumput.

Uh… Seharusnya sang Prabu berfikir seribu kali sebelum melakukan tindakan bodoh menemani istrinya pati obong. Kesetiaan yang membabi buta. Apakah keputusan Prabu Anglingdarma untuk pati obong tidak merugikan rakyat Malawapati?” ujar kambing betina kepada kambing jantan.

Suami-istri mempunyai rahasia itu kan hal yang biasa, bukan?” kambing jantan balik bertanya.

Mendengar itu semua, Prabu Anglingdarma turun dari panggung dan membiarkan Setyawati terjun sendirian ke dalam api.