Surga (ada) di bumi

Prolog [diambil dari bagian akhir dongeng Bidadari Lemu]:

Dengan susah payah, Joko Tarub membawa perempuan bertubuh subur itu ke tepi telaga. Ia menepuk-nepuk pipi tembam bidadari supaya siuman dari pingsannya.

“Siapa kamu?” tanya bidadari subur-makmur, kaget ada seorang lelaki di sampingnya.

“Tenang. Aku yang menolongmu dari tenggelam di tengah telaga itu. Namaku Joko Tarub. Kamu siapa?” jawab Joko Tarub.

“Namaku Nawangwulan,” katanya pelan, lalu pingsan lagi.

Lêmu tenan, kiyi,” gumam Joko Tarub.

~0Oo~

Bidadari lemu ginak-ginuk itu diangkat oleh Joko Tarub dengan mengeluarkan kekuatan penuh. Tak lupa, ia mengamankan selendang milik Nawangwulan. Kalau Nawangwulan sadar dan meminta selendangnya bisa berabe, ia akan ditinggal terbang ke kahyangan padahal diam-diam ia tertarik kepada bidadari yang kini dalam pelukannya itu.

Meskipun dengan berjalan terseok-seok, akhirnya mereka sampai juga di gubuk Joko Tarub dan disambut oleh ibunya yang sudah renta. Segera saja perempuan tua itu membalurkan aneka rempah untuk menyadarkan Nawangwulan dari pingsannya.

“Di mana aku?” tanya Nawangwulan setelah siuman.

Bergegas ibu Joko Tarub mendekat dan menyodorkan minuman hangat. Nawangwulan terlihat lebih segar.

“Kamu berada di rumahku, cah ayu,” jawab ibu Joko Tarub.

“Lalu, di mana selendangku? Aku ingin kembali ke kahyangan, ke rumahku!” ujar Nawangwulan.

Joko Tarub menceritakan kalau selendang miliknya hanyut di telaga, kemudian ia menawarkan satu solusi, “Lebih baik kamu menjadi istriku, jeng.”

Memang sudah garis hidup Nawangwulan dan Joko Tarub. Mereka akhirnya menjadi suami istri. Nawangwulan yang bertubuh subur itu ternyata mudah bergaul dengan tetangga dan orang sekampung. Kalau ada waktu luang, ia manfaatkan untuk petan – mencari kutu rambut, sambil bergosip. Nikmat betul hidup ini.

Nanti ketika pulang dari sawah, Joko Tarub disambut dengan sapaan hangat Nawangwulan. Tak lama kemudian, ia menyajikan nasi panas kebul-kebul untuk suaminya yang kelelahan menggarap sawah.

Pada suatu hari, Joko Tarub tidak turun ke sawah. Nawangwulan pamit pergi ke pasar dan berpesan kepada suaminya itu kalau ia sedang menanak nasi. Pesan lainnya: jangan sekali-sekali membuka dandang.

Tentu saja Joko Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Ia nekat membuka dandang. Betapa terkejut Joko Tarub ketika ia menemukan sebulir padi di dalam dandang.

“Pantas saja padi di lumbungku tak pernah habis. Rupanya Nawangwulan menanak nasi dengan kesaktiannya,” gumamnya.

Sesungguhnya Nawangwulan tahu kalau suaminya telah melanggar larangannya. Akibatnya, kesaktian Nawangwulan dalam menanak nasi sirna. Selanjutnya, untuk menanak nasi dibutuhkan tenaga ekstra. Nawangwulan harus menumbuk padi, memisahkan sekam dengan berasnya, menyaring dedak dengan berasnya, memilih mana beras utuh mana menir, dan semua itu dengan ikhlas ia lakukan. Bahkan tanpa ia sadari tubuh suburnya berangsur-angsur menjadi langsing karena saban hari berolah-raga menumbuk padi dan menampi berasnya. Hampir seluruh tubuhnya bergerak dan hal itu telah membakar lemaknya.

Lama-lama persediaan padi di lumbung menipis, dan sebentar lagi habis. Apalagi Joko Tarub salah hitung, sawahnya ia jadikan tegalan dulu karena merasa persediaan padi di lumbungnya masih banyak.

Dan di lumbung padi itulah Nawangwulan menemukan selendangnya. Joko Tarub sangat kuatir akan ditinggalkan istrinya terbang ke kahyangan.

“Tenanglah Kakang Tarub, aku tak hendak meninggalkanmu. Aku memilih tinggal bersamamu. Sebab, aku merasakan surga di bumi ini,” kata Nawangwulan sambil memeluk erat suaminya.