Adipati Karna juga mudik

Sebagai Raja Awangga, yang kesibukannya luar biasa, lebaran tahun ini menyempatkan diri mudik ke kampung halamannya. Paling tidak, setahun sekali ia harus bertemu dengan kedua orang tuanya. Apakah ia pulang ke rumah Dewi Kunti di Istana para Pandawa? Atawa ia mengunjungi ayahnya, Bathara Surya yang ada di kahyangan sana? Tidak! Adipati Karna mengunjungi orang tua angkatnya, yang sejak ia masih bayi merah telah memeliharanya, bukan menuju pangkuan Dewi Kunti yang membuang dirinya di aliran sungai.

Perjalanan mudik kali ini terasa berbeda. Adipati Karna dan keluarga hanya punya libur selama sepekan saja. Waktu yang terlalu singkat untuk mengobati rindu dengan keluarga besarnya di kampung sana.

Adipati Karna lepas dari aturan protokoler. Ia menyetir sendiri menuju rumah ayah-ibu angkatnya yang berjarak sekira 12 jam. Istrinya, Surtikanthi duduk di belakang bersama anak keduanya, Dewi Suryawati. Sementara yang menjadi co-driver anak sulungnya, Warsakusuma. Sebagai pemimpin ia ingin merasakan bagaimana rakyatnya mudik. Melewati jalan yang sama. Berpanas dan bermacet bersama. O, Negeri Awangga di bawah pimpinan Karna jalanan mulus tiada berlobang. Dengan traffic management yang bagus, sedikit ada kemacetan segera terurai. Yang paling membanggakannya, lebaran tahun ini tercatat sebagai zero accident.

~oOo~ read more

Bima mengejar wahyu keraton

Di dunia WayangSlenco tidak dikenal adanya pilpres, pileg atawa pilkada, karena semua sistem pemerintahan bermodel monarki. Seorang raja akan mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Ada pula maharaja yang mengadiahkan sebuah kerajaan kepada seorang ksatria, seperti Karna mendapatkan kerajaan Awangga dari ayah Duryodana. Tidak semua raja yang memiliki tahta mempunyai wahyu keraton, yaitu semacam legitimasi dari para dewa bahwa ia telah ditunjuk para dewa untuk menjadi wakilnya di bumi persada memimpin sebuah negeri.

Adalah Bima a.k.a Werkudara – Pandawa kedua, yang sedang bertapa meminta kepada para dewa supaya dianugerahi wahyu keraton. Bima yang perkasa dan sakti mandraguna itu, meskipun oleh tetua Pandawa telah diberi sebuah kerajaan tetapi Bima tidak merasa pede – percaya diri, sebab ia belum mendapatkan wahyu keraton.

Syahdan, memasuki hari ke seratus doa-doa Bima didengar oleh para dewa. Di tengah malam yang hening, dari angkasa meluncur sebuah cahaya yang berbentuk bulat menyerupai bentuk bulan, tetapi cahayanya lebih terang benderang. Cahaya itu jatuh di depan Bima yang sedang bersila. Bima segera menangkap cahaya itu, tetapi luput. Benda bercahaya itu seperti menghindarinya. Bima berdiri bersiap untuk menubruk dan menangkap benda itu, namun lagi-lagi benda itu meloncat dan berlari entah ke mana. read more

Sri for President

Prolog
Resi Bhisma dan mBak Sri – panggilan akrab Srikandi, bertempur hebat. Akhir perang tanding itu Bhisma roboh oleh sebuah anak panah milik mBak Sri yang menancap di dadanya, tidak lama kemudian disusul panah milik Arjuna, yang ajaibnya mendorong panah mBak Sri sebelumnya, hingga tembus ke punggung Bhisma. Menyusul anak panah berikutnya, begitu seterusnya sampai tubuh Bhisma penuh dengan anak panah. Tubuh Bisma tidak menyentuh tanah, karena ditopang oleh ratusan anak panah. Bhisma tahu, kalau Arjuna telah berbuat curang dengan memberondong puluhan anak panah ke tubuhnya setelah ia limbung oleh panah Srikandi.

Suasana padang Kurusetra mendadak hening. Perang seketika berhenti. Pandawa dan Kurawa sangat menghormati Bhisma, seorang pahlawan agung yang telah banyak jasanya pada keturunan Bharata. Dalam kesakitan yang sangat Bhisma masih bisa tersenyum karena telah memenuhi darma baktinya. read more