Sebagai Raja Awangga, yang kesibukannya luar biasa, lebaran tahun ini menyempatkan diri mudik ke kampung halamannya. Paling tidak, setahun sekali ia harus bertemu dengan kedua orang tuanya. Apakah ia pulang ke rumah Dewi Kunti di Istana para Pandawa? Atawa ia mengunjungi ayahnya, Bathara Surya yang ada di kahyangan sana? Tidak! Adipati Karna mengunjungi orang tua angkatnya, yang sejak ia masih bayi merah telah memeliharanya, bukan menuju pangkuan Dewi Kunti yang membuang dirinya di aliran sungai.
Perjalanan mudik kali ini terasa berbeda. Adipati Karna dan keluarga hanya punya libur selama sepekan saja. Waktu yang terlalu singkat untuk mengobati rindu dengan keluarga besarnya di kampung sana.
Adipati Karna lepas dari aturan protokoler. Ia menyetir sendiri menuju rumah ayah-ibu angkatnya yang berjarak sekira 12 jam. Istrinya, Surtikanthi duduk di belakang bersama anak keduanya, Dewi Suryawati. Sementara yang menjadi co-driver anak sulungnya, Warsakusuma. Sebagai pemimpin ia ingin merasakan bagaimana rakyatnya mudik. Melewati jalan yang sama. Berpanas dan bermacet bersama. O, Negeri Awangga di bawah pimpinan Karna jalanan mulus tiada berlobang. Dengan traffic management yang bagus, sedikit ada kemacetan segera terurai. Yang paling membanggakannya, lebaran tahun ini tercatat sebagai zero accident.
~oOo~
Karna menghaturkan sembah sungkem kepada Adirata – ayahnya, juga kepada ibunya, Rada. Lalu diikuti oleh Surtikanthi, Warsakusuma dan terakhir Suryawati. Rada mengeluarkan tape ketan kesukaan Karna. Acara selanjutnya bercengkrama di balai-balai di bawah pohon nangka. Karna memandang sekeliling. Semua tidak berubah sejak ia diasuh oleh ayah angkatnya itu. Sampai sekarang, Adirata masih berprofesi sebagai kusir kereta yang mangkal di pasar desa, meskipun Karna sudah menjadi orang paling berkuasa di Awangga.
Warsakusuma sangat bangga pada ayahnya, Karna. Ia lalu minta kepada kakeknya untuk menceritakan masa kecil Karna hingga menjadi orang paling terhormat di negerinya. Kisah yang sama selalu terulang setiap tahunnya, dari mulut kakeknya, tetapi Warsakusuma tidak pernah bosan mendengarnya.
“Aku menemukan ayahmu ketika aku memberi minum kuda di pinggir sungai. Aku melihat ada kotak kayu yang terhanyut dan mendekatiku. Ketika berada di hadapanku betapa kagetnya hatiku ada seorang bayi tampan di dalam kotak itu. Hmm, waktu itu aku sudah mempunyai prediksi kalau bayi itu anak sembarangan!”
“Kakek bisa melihat dari mana?”
“Aku menemukan sebuah anting-anting di telinga ayahmu. Lalu, ia juga dilengkapi dengan rompi baja. Belakangan kakek paham kalau kedua benda tersebut adalah pusaka sakti yang dimiliki ayahmu.”
“Aku masih ingat nama pusaka sakti itu, Kek. Anting-anting itu bernama Pucunggul Maniking Surya dan rompinya bernama Kawaca1. “
Mendengar tuturan anak lelakinya, Karna hanya tersenyum. Ya, ia ingat. Ia harus membuang kedua pusaka itu, supaya ia bisa dikalahkan oleh Pandawa dalam perang nanti. Biarlah ia yang berkorban untuk kebahagiaan adik-adiknya, ya Pandawa itu.
“Lalu kakek membawa bayi itu. Sampai di rumah ini, nenekmu senang bukan main. Kami mendapatkan anugerah seorang putra, yang sangat lama kami dambakan. Aku memberikan nama padanya, Basusesa karena ketika aku temukan ia memakai pakaian khas milik Bathara Surya. Kemudian, di tahun-tahun berikutnya nenek melahirkan seorang anak yang kami asuh bersama Basusena.”
Dewi Suryawati ikut mendengar kisah itu, ia menggelendot di pangkuan Surtikanthi. Adirata lalu menceritakan masa remaja Karna. Betapa gundahnya Adirata, Karna yang mempunyai kepandaian di segala macam hal harus bisa diajar oleh seorang guru yang mumpuni. Ia lalu membawa Karna kepada Resi Drona. Tetapi ditolak, karena Karna hanya seorang anak kusir kereta, tak pantas belajar bersama-sama dengan para ningrat.
Kisah kehidupan Karna selanjutnya, diceritakan oleh Karna kepada Surtikanthi di pinggiran Padang Kurusetra.2
~oOo~
Menengok kampung kelahiran seperti menengok sejarah kehidupan. Mengingatkan dari mana ia berasal, tidak lupa asal-usul. Mudik lebaran tahun ini, jiwa anak-anak Karna dan Surtikanthi semakin terisi oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dituturkan oleh Adirata, kakeknya.
___________
1. Nama pusaka ini versi dari Pak Manteb Soedarsono
2. Kisahnya bisa dibaca di Surtikanthi, Awal Perjumpaan seri 1, seri 2, seri 3 dan seri 4