Abah yang Istimewa

Sekitar pertengahan Februari 2009 kemarin, Mbak Labibah yang saya kenal melalui dunia maya mengontak saya, meminta saya ikut menulis esai tentang Abah. Penulis novel sekaligus dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu merupakan salah satu yang ditunjuk untuk menggarap buku dalam rangka penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa buat Abah saya, A. Mustofa Bisri.

Belum sempat saya mengerjakan tulisan itu, tiba-tiba Billy, anak kedua saya sakit keras hingga harus dirawat di rumah sakit selama lebih dari dua minggu. Alhamdulillah setelah menjalani perawatan intensif, kondisinya makin membaik sehingga saya pun bisa mencuri waktu untuk menulis esai pendek ini. read more

Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945

Judul buku  : Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945
Penulis          : Her Suganda
Penerbit        : Kompas, Agustus 2009
Tebal              : xxxvii + 241 halaman

Siapa yang tidak mengenal Rengasdengklok? Ketenarannnya bahkan melampaui Karawang, nama Kabupaten yang menaunginya. Ya, Rengasdengklok populer karena adanya peristiwa bersejarah tanggal 16 Agustus 1945, sehari sebelum diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Buku yang sampulnya bergambar Monumen Suroto Kunto ini memfokuskan perhatian pada rangkaian peristiwa yang terjadi di Rengasdengklok sehari sebelum proklamasi kemerdekaan, meskipun peristiwa itu hanyalah merupakan bagian dari riwayat daerah ini. Rengasdengklok, suatu kota kecil di Kabupaten Karawang selalu menjadi bahan pembicaraan menarik, terutama pada setiap menjelang HUT RI. Tepat sehari sebelum proklamasi, para pemuda dan anggota PETA membawa Bung Karno dan Bung Hatta disertai Ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra yang masih bayi ke kota kecil ini. Padahal, pada hari yang sama Bung Karno dan Bung Hatta rencananya akan memimpin rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). read more

1000 ciuman milik Bung Karno

Siapa yang tak kenal Bung Karno. Selain sebagai seorang Proklamator Kemerdekaan RI, Presiden Pertama RI, dalam kehidupan pribadinya ia adalah seorang penakluk wanita.

Saya, sayalah Bung Karno yang suka mendekati orang di mana saja saya berada. Dan sifat ini pula yang menyebabkan kesukaran saya. Kalau saya memeluk orang di jalanan atau merangkul seorang pramugari setelah mendarat dengan selamat, itu tandanya saya memperlihatkan keramahan saya. Akan tetapi yang dinamakan orang perbuatan gila-gilaan ini menyebabkan pemberitaan yang tidak enak sama sekali di seluruh dunia. Kalau Syah Iran mencium gadis-gadis di muka umum, maka gambarnya diberi komentar yang sangat menyenangkan. “Tidakkah Raja Iran sangat mengagumkan?” kata majalah-majalah Amerika dengan manis. “Beliau mencium rakyat jelata.”

Lain lagi sikap mereka terhadap Sukarno. Pada waktu Ratu Kecantikan Universitas Hawaii mengalungkan bunga kepada saya lalu menciumku, saya bertanya, “Bagaimana harus membalasnya?”

“Balaslah ciumannya,” bisik pengiring saya Laksamana Felt, “Kalau tidak begitu berarti tuan menyakiti hatinya.”

[Dikutip dari buku Bung Karno – Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams, 1982) hal 439] read more