Sudesi: sukses dengan satu istri

Judul buku: Sudesi • Penulis: Arswendo Atmowiloto • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2010) • Tebal: 447 halaman

Kehidupan perkawinan bukan hanya indah, bukan hanya agung, tetapi mulia. Keindahan bisa berubah karena gairah bisa berkurang, bisa bertambah. Keagungannya bisa sementara teraling mendung. Namun kemuliaannya itu adalah ketika kita menunjukkan layak dicinta dan mencinta.

Itulah kemuliaan dalam kemuliaan Tuhan. Kira-kira seperti inilah gagasan yang dicetuskan oleh Jati Sukmono, Sudesi: sukses dengan satu istri.

Sudesi lahir dari kesadaran berpikir, dan agaknya juga di situ tempatnya berakhir. Sudesi sebenarnya sangat sederhana dan mudah dimengerti. Namun sebagaimana gagasan pada umumnya, tak mudah diterima atau ditolak secara tegas. read more

Sapardi, pencipta puisi liris

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.
Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa.
Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

~Sapardi Djoko Damono~ read more

Sultan, DIY dan Gubernur

Ketika Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, Pemerintah Yogyakarta benar-benar mandiri. Kemudian pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambut berdirinya Pemerintah RI serta memberikan pernyataan bahwa mereka berdua berdiri di belakang RI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Presiden RI segera mengutus Menteri Negara MR. RM Sartono dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis ke Yogyakarta untuk menyampaikan Piagam mengenai kedudukan Yogyakarta.

Piagam seperti ini juga diberikan kepada Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VIII. Memang, pemerintah Daerah Yogyakarta, yang sekarang merupakan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak zaman Hindia Belanda mewujudkan dua kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri, yakni Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Projo Pakualaman. Status Kasultanan dan Kadipaten diatur dengan “politik kontrak”, yakni perjanjian antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam secara terpisah. Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan keduanya tetap diakui, masing-masing memiliki otonomi. Piagam kedudukan Yogyakarta adalah sebagai berikut. read more