Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.
Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa.
Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.
~Sapardi Djoko Damono~
Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus. Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya.
Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.
Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah.
Sapardi pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat itu berumur 17 tahun. Tapi, puisinya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang ia terus menulis puisi. Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), ia berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, ia juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.
Ia hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Baginya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.
Buku kumpulan puisi pertamanya, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasanya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan. Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Ia mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut ”belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.
Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang. Banyak orang lebih menyukai puisinya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.
Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya. Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.
Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, ia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus B1 Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang. Pindah ke Jakarta, ia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.
Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).
Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena ia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.
Sumber bacaan utama: Kompas