Sudesi: sukses dengan satu istri

Judul buku: Sudesi • Penulis: Arswendo Atmowiloto • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2010) • Tebal: 447 halaman

Kehidupan perkawinan bukan hanya indah, bukan hanya agung, tetapi mulia. Keindahan bisa berubah karena gairah bisa berkurang, bisa bertambah. Keagungannya bisa sementara teraling mendung. Namun kemuliaannya itu adalah ketika kita menunjukkan layak dicinta dan mencinta.

Itulah kemuliaan dalam kemuliaan Tuhan. Kira-kira seperti inilah gagasan yang dicetuskan oleh Jati Sukmono, Sudesi: sukses dengan satu istri.

Sudesi lahir dari kesadaran berpikir, dan agaknya juga di situ tempatnya berakhir. Sudesi sebenarnya sangat sederhana dan mudah dimengerti. Namun sebagaimana gagasan pada umumnya, tak mudah diterima atau ditolak secara tegas.

Sukses adalah kata yang menggambarkan keberhasilan, prestasi sekaligus juga usaha sebelumnya. Karena sesungguhnya pasangan suami istri yang awet adalah prestasi, keberhasilan, upaya yang sungguh-sungguh, sebuah nilai bermakna. Kita telah lama menganggap bahwa pasangan yang awet, hidup bersama seorang istri dengan seorang suami, bukan lagi prestasi. Tak perlu dihargai lebih. Bahkan dianggap biasa-biasa saja. Kalaupun istri bertambah juga setengah dianggap biasa-biasa saja.

Sesungguhnya gagasan sudesi mengarah kepada masa depan. Artinya, dengan pengertian bahwa hidup sebagai suami-istri secara baik dianggap sebagai kesuksesan. Arti lain, sudesi adalah harapan. Sesuatu yang belum kita miliki penuh.

Sudesi juga bersifat maskulin. Gerakan keluarga berencana sejahtera sebagai tujuan ini lebih memberat ke pihak kaum pria. Sadar atawa tidak, dunia ini dikuasai kaum pria.

Bus kota bergerak cepat, jelas lebih memungkinkan diikuti oleh kaum pria. Penarik becak, juga lebih memungkinkan lapangan pekerjaan bagi pria. Hal-hal seperti ini tak pernah kita sadari sepenuhnya. Sehingga bahkan singkatan sudesi juga terarah pada kaum pria.

Sudesi itu menghargai, suatu apreasiasi. Saling menghargai merupakan lem perekat, juga fondasi bangunan yang bernama sudesi. Celakanya, bangunan itu sudah ada, fondasi juga sudah tertanam, tetapi kita tak menyadari, sehingga tak mampu merawat.

Begitu banyak keretakan perkawinan hanya karena kurang saling menghargai, kurang merawat. Betapa lebih banyak ketidaksadaran ini menjadi hantu yang membayangi terus menerus. Alangkah tolol dan sialnya hidup ini. Ikatan perkawinan menjadi beban, bukan keadaan yang perlu disyukuri.

Sebenarnya, membicarakan sudesi adalah membicarakan makna perkawinan. Apakah akan awet atawa berakibat perceraian. Ah, kata cerai itu sesungguhnya telah menghukum, telah memberi konotasi buruk. Cerai, bubar, hancur, rontok. Agaknya sejak dulu pun kata yang keras ini lebih dipakai dibandingkan, misalnya, perpisahan. Dalam kacamata sudesi, perceraian menandai ketidaksuksesan, karena dengan demikian kesakralan ternodai, jaminan rasa aman menjadi keraguan, dan semua ini sebenarnya tidak kita kehendaki.

Perkawinan dimulai dari cinta. Kita mungkin berbeda pendapat mengenai apa itu cinta. Kita bisa mempunyai definisi yang tidak sama satu sama lain. Betapapun, ada pengertian tertentu yang bisa kita katakana cinta.

Cinta? Cinta dimulai dari pengenalan. Ada ungkapan manis yang kita miliki “Tak kenal maka tak sayang.” Ungkapan ini menggarisbawahi bahwa cinta dimulai dari kenal. Kenal lewat telinga – mendengar, lewat mata atau indera yang lain, lewat rasa, lewat firasat, lewat mimpi.

Kembali kepada perceraian. Apakah sudesi tidak mengenal perceraian? Jawabannya, mengenal. Apakah bisa disebut sudesi kalau bercerai? Bisa. Semua tadi bisa terjadi dan tetap disebut berpredikat sudesi. Selama, semuanya masih berada dalam pengandaian-pengandaian mengenai perkawinan dalam pemahaman sudesi. Pertama, perceraian terjadi karena kuasa Tuhan. Misalnya istri – sebenarnya sekali lagi bisa berarti suami, tapi sejak awal terlanjur maskulin – meninggal dunia.

Kedua, perceraian terjadi karena tidak bisa melangsungkan hubungan seksual, dan yang ketiga, perceraian terjadi karena tidak bisa menghadirkan keturunan. Perlu digarisbawahi kata “bisa terjadi”, tidak dengan sendirinya terjadi. Terutama kalau dikaitkan dengan unsur tidak bisa mengadakan hubungan seksual dan tidak bisa menghadirkan keturunan. Hal ini terjadi dari dua hal. Pertama, karena memang sudah uzur dan secara alamiah tidak memungkinkan. Pasangan suami-istri yang mencapai usia 80 tahun – yang tidak melakukan hubungan seks lagi – tak perlu merasa beralasan untuk bercerai. Hal kedua, soal menghadirkan keturunan, bisa diatasi dengan mengangkat anak atawa menerima kenyataan sebagai bagian dari kuasa Tuhan.

Apakah sudesi anti kawin lagi? Pertanyaan yang sejenis juga akan mendapat jawaban yang sama. Sudesi tidak mengenal perceraian, juga tidak mengenal kawin lagi, semua itu dalam kaitan pengandaian yang diyakini, yang menjadi dasar sudesi. Kalau kawin lagi karena kuasa Tuhan, karena tak bisa melakukan hubungan seksual dengan istrinya, karena belum mempunyai keturunan dan ingin, kawin lagi bisa diterima. Jadi, tidak berarti anti kawin lagi.

Apakah yang pernah bercerai, atawa permah kawin lagi tak bisa disebut sudesi? Jawabannya, tidak. Meskipun rukun dan bahagia? Tetap tidak. Karena nama sudesi itu singkatan dari sukses dengan satu istri. Istri di sini adalah istri pada perkawinan yang pertama dan satu-satunya. Bahkan dalam ide mengenai sudesi ini tak ada kaitannya dengan menghasilkan keturunan.

Bagaimana dengan pasangan yang demikian bahagia dengan istri kedua, atawa istrinya dua? Itu adalah pasangan yang bahagia, tapi tak bisa disebut sudesi.

Dengan demikian seharusnya menjadi lebih jelas bahwa sudesi adalah istilah, penamaan belaka. Secara langsung, sudesi tidak mengatakan atawa menjamin pasti bahagia dan seterusnya. Dengan bahasa hapalan, satu-satunya kepastian dalam perkawinan adalah ketidakpastian. Ini yang menjadi titik tolak perlunya sentuhan memahami sudesi. Karena dengan demikian, akan lebih banyak beban dan keruwetan yang menyiksa tersingkir dengan sendirinya.

Sudesi, dengan kata lain adalah usaha. Usaha agar perkawinan lebih bersifat selamanya.

Novel ini terdiri dari 3 buku, yang masing-masing menceritakan konflik tokoh-tokoh yang menganut gagasan sudesi atau yang menolaknya, termasuk pencetus sudesi sendiri, Jati Sukmono.