Sultan, DIY dan Gubernur

Ketika Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, Pemerintah Yogyakarta benar-benar mandiri. Kemudian pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambut berdirinya Pemerintah RI serta memberikan pernyataan bahwa mereka berdua berdiri di belakang RI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Presiden RI segera mengutus Menteri Negara MR. RM Sartono dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis ke Yogyakarta untuk menyampaikan Piagam mengenai kedudukan Yogyakarta.

Piagam seperti ini juga diberikan kepada Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VIII. Memang, pemerintah Daerah Yogyakarta, yang sekarang merupakan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak zaman Hindia Belanda mewujudkan dua kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri, yakni Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Projo Pakualaman. Status Kasultanan dan Kadipaten diatur dengan “politik kontrak”, yakni perjanjian antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam secara terpisah. Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan keduanya tetap diakui, masing-masing memiliki otonomi. Piagam kedudukan Yogyakarta adalah sebagai berikut.

PIAGAM KEDOEDOEKAN SRI PADOEKA INGKANG SINOEWOEN KANGDJENG SOELTAN HAMENGKOE BOEWONO IX

Kami, Presiden Repoeblik Indonesia menetapkan:

INGKANG SINOEWOEN KANGDJENG SOELTAN HAMENGKOE BOEWONO SENOPATI ING NGALOGO ABDOELRAKHMAN SAJIDIN PANOTOGOMO KALIFATOELAH INGKANG KAPING IX ing NGAYOGYAKARTA HADININGRAt, pada kedoedoekannja dengan kepertjajaan bahwa Sri Padoeka Kangdjeng Soeltan akan mentjoerahkan segala pikiran, tenaga, djiwa, dan raga oentoek keselamatan Daerah Jogjakarta sebagai bagian dari Repoeblik Indonesia.

Djakarta, 19 Agoestoes 1945

Presiden Repoeblik Indonesia

ttd

Ir. Soekarno

Sampai pada akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bersama tertanggal 30 Oktober 1945 – yang didahului dengan amanat yang dibuat tanggal 5 September 1945 secara terpisah tetapi bunyinya sama – menyatakan bahwa Yogyakarta yang berbentuk kerajaan , merupakan Daerah Istimewa bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar hukum yang melengkapi lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta – yang semangatnya dirumuskan dengan kalimat: Hamamayu bayuning Bawono, sepi ing pamrih rame ing gawe – terutama adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

~oOo~

Artikel di atas saya kutipkan dari buku berjudul Sri Sultan Hamengku Buwono X Meneguhkan Tahta untuk Rakyat halaman 52 – 54, Editor oleh A. Ariobimo Nusantara, Penerbit Grasindo (1999). Dalam pengantarnya Prof. Dr. Selo Soemardjan menulis, “Rakyat Yogyakarta tanpa memikirkan perbedaan yuridis antara daerah provinsi biasa dan istimewa berketetapan hati, bahwa satu-satunya calon Gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono X, anutan mereka. Pada tanggal 26 Agustus 1998 ratusan ribu rakyat berkumpul di halaman DPRD dan menyatakan Sri Sultan (yang hadir karena dijemput dari Keraton) menjadi calon tunggal buat jabatan Gubernur. Rakyat setuju dengan tiga orang calon, yaitu calon kesatu Sultan, calon kedua Sultan, dan calon ketiga Sultan” (halaman xvii).

~oOo~

Bapak, kemarin saya mendengarkan klarifikasi pernyataan panjenengan yang semingguan ini jadi polemik di masyarakat, tapi punten ndalem sewu, saya kok mboten mudheng apa maksudnya.