Abah yang Istimewa

Sekitar pertengahan Februari 2009 kemarin, Mbak Labibah yang saya kenal melalui dunia maya mengontak saya, meminta saya ikut menulis esai tentang Abah. Penulis novel sekaligus dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu merupakan salah satu yang ditunjuk untuk menggarap buku dalam rangka penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa buat Abah saya, A. Mustofa Bisri.

Belum sempat saya mengerjakan tulisan itu, tiba-tiba Billy, anak kedua saya sakit keras hingga harus dirawat di rumah sakit selama lebih dari dua minggu. Alhamdulillah setelah menjalani perawatan intensif, kondisinya makin membaik sehingga saya pun bisa mencuri waktu untuk menulis esai pendek ini.

Buat saya, Abah adalah orang tua istimewa. Sejak saya dan adik-adik masih kecil, beliau menyediakan waktu untuk bercengkrama dengan kami, anak-anaknya. Tidak jarang pula beliau membawa kami dalam acara ke luar kota. Kebersamaan dan kedekatan keluarga ini membekas erat dalam ingatan saya, hingga sekarang saya pun ingin menerapkan hal yang sama buat anak-anak saya. Meski kelihatan sederhana, tapi kesempatan bepergian ke suatu tempat bersama keluarga dan menikmati saat-saat santai bersama merupakan salah satu faktor yang mempererat ikatan antara anak dan orang tua.

Sebagai anak tertua, saya mempunyai kesempatan lebih banyak bepergian bersama Abah sejak usia dini. Tak jarang saya sendiri yang diajak beliau pergi ke luar kota, entah dalam rangka acara di DPR atau pertemuan Nahdlatul Ulama. Ketika Abah masih biasa menyetir mobil sendiri untuk ke Semarang, misalnya, saya sering diajak untuk menemani beliau, sekedar sebagai teman mengobrol supaya tidak mengantuk. Meski saya harus mengorbankan jam sekolah, saya sama sekali tidak keberatan, karena pengalaman memasuki gedung DPRD Jawa Tengah yang megah, kadang bertemu dengan tokoh masyarakat yang nama dan wajahnya sering muncul di surat kabar, bagi anak kecil yang masih duduk di SD, sungguh membanggakan.

Saya juga pernah diajak Abah mengikuti acara NU di Jakarta, entah tahun berapa saat itu, dan acara apa tepatnya, saya lupa. Yang jelas, saya “dititipkan” di rumah Gus Dur, alias KH Abdurrahman Wahid selama Abah mengikuti acara sekitar 2 atau 3 hari itu. Saya ingat betul, waktu itu sempat menengok ke tempat acara bersama puteri-puteri Gus dur. Ketika kami memasuki ruangan dan kemudian bersalaman dengan para kiai, Abah nyeletuk : “Nah, itu yang kelihatan kurang gizi itu anak saya..,” dan meledaklah tawa di ruangan itu. Saat itu saya masih berstatus ABG (Anak Baru Gede), sempat merasa minder dan malu sekali mendengar komentar itu. Tapi, belakangan saya menyadari, tradisi ledek-meledek kan memang sudah biasa di kalangan pesantren, dan akhirnya bisa ikut tertawa bersama mereka.

Kelebihan Abah sebagai seorang seniman juga sudah kami – saya dan adik-adik – rasakan sejak kami berusia kanak-kanak. Kreativitas Abah seperti tak ada habisnya. Saat kami ketakutan karena listrik di rumah padam dan seisi rumah gelap gulita, Abah akan menghibur kami dengan ‘bermain bayangan’. Hanya dibutuhkan cahaya lilin atau lampu teplok sederhana, dan Abah membuat cerita dengan menggunakan bayangan dari kedua tangannya. Sambil memandangi tembok yang berfungsi sebagai layarnya, kami menikmati ‘film’ cerita Abah yang berupa dialog antara binatang-binatang yang terbentuk dari bayangan itu dengan asyiknya. Begitu listrik menyala kembali, kami justru kecewa karena berarti Abah akan kembali meneruskan aktivitasnya, entah menulis atau mengajar santri-santri.

Abah juga sempat membuat ‘teater boneka’ yang menggunakan magnet. Saya tidak ingat lagi detilnya, tapi yang jelas, boneka-boneka kecil buatan sendiri itu ditempeli magnet di bawahnya, kemudian diletakkan di atas alas yang terbuat dari potongan kardus bekas yang dilapisi kain sederhana. Abah kemudian menggunakan magnet yang diletakkan di bawah kardus itu untuk menggerak-gerakkan boneka. Kalau Abah sudah beraksi dengan teater boneka ini, saya dan adik-adik serta sepupu dan kadang beberapa anak tetangga, dengan antusias mengerumuni panggung kecil itu dan asyik mendengarkan ceritanya.

Abah jugalah yang menanamkan kecintaan kami pada musik. Sepanjang ingatan saya, rumah kami selalu dihiasi music dari beragam genre. Lagu-lagu Iwan Fals, Franky & Jane, Doel Sumbang sering diputar di rumah. Tapi, yang sering menemani hari-hari kami adalah Ummi Kultsum. Sebagaimana lazimnya orang Indonesia yang sempat merasakan tinggal dan belajar di Mesir, Abah juga merupakan salah satu pengagum berat Ummi Kultsum. Beliau hafal hampir semua lagu dari penyanyi legendaris itu. Saat-saat yang menyenangkan bagi kami adalah ketika kami sekeluarga bersantai di kamar, Abah rebahan di tempat tidur, saya diminta memijat punggung beliau. Salah satu adik saya sibuk mencari uban yang saat itu mulai menghiasi rambut Abah. Adik yang lain membaca atau bermain di lantai, yang paling kecil dipangku Ibuk. Sambil mendengarkan lagu Ummi Kultsum, Abah menceritakan bagaimana populernya penyanyi kharismatis itu di Mesir, bagaimana dia dengan penampilan dan panggung sederhana bisa menyihir ribuan orang yang hadir dalam setiap konsernya. Cara bercerita Abah yang mengasyikkan membuat kami betah mendengarkannya. Kadang Abah juga menerjemahkan lirik-lirik puitis dari lagu berbahasa Arab itu, bait demi bait. Salah satunya adalah yang berjudul “Rubaiyyatul Khayyam”. Salah satu bait yang saya ingat adalah : “Fa maa athoolan-naumu ‘umran. Wa laa qath-thara bil-a’maali thuulus-shahr” (tidur tidak akan memperpanjang umur, dan terjaga tidak akan memperpendek umur).

Sampai sekarang, kecintaan saya pada lagu-lagu Ummi Kultsum tetap terpelihara, bahkan lebih dalam lagi. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang ada sekarang ini, saya bisa menemukan klip video rekaman konser Ummi Kultsum di YouTube dengan mudah.

Abah juga menanamkan kebiasaan membaca buat semua anaknya. Sejak usia SD,kami diizinkan berlangganan majalah Bobo. Kami merasa sangat beruntung karena waktu itu pasti tidak banyak anak di kota kecil Rembang yang bisa membaca majalah terbitan Jakarta itu secara rutin seperti kami. Jika kami sekeluarga berkesempatan pergi ke Semarang, salah satu tempat yang hampir selalu kami kunjungi adalah toko buku, entah Gramedia, Gunung Agung atau pun Toha Putra. Saat itulah yang kami tunggu-tunggu, karena Abah akan memperbolehkan kami memilih buku yang kami inginkan.

Sebagai orang tua, Abah sangat demokratis. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak atau mengatur kami secara berlebihan. Misalnya, tentang pendidikan. Selepas Tsanawiyah di Rembang, saya memutuskan untuk meneruskan pendidikan di SMA di Semarang. Abah tidak keberatan. Demikian pula ketika kemudian saya mengambil jurusan Sastra Perancis di UGM, beliau pun tidak menentang. Dua adik saya enggan meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi dan memutuskan tinggal di rumah dan belajar di pondok serta menghafal al-Quran. Semuanya didukung penuh oleh beliau, demikian pula dengan adik-adik yang lain dengan pilihan masing-masing.

Kedekatan dengan Abah membuat saya tak ragu menyampaikan isi hati saya atau meminta nasihat jika saya mempunyai masalah. Di tahun pertama saya kuliah di Yogyakarta, saya sempat bingung menghadapi beberapa teguran ‘aneh’ dari kakak kelas. Sejak kuliah memang saya memakai jilbab, tapi saya tidak pernah membatasi pergaulan. Saya punya banyak teman yang berbeda agama, sesuatu hal yang biasa karena sejak duduk di bangku SD pun saya punya sahabat yang non-muslim. Makanya saya heran ketika tiba-tiba seorang kakak kelas, perempuan berjubah dan jilbab panjang yang sayaa kenal dari program PAI (Pendampingan Agama Islam, kegiatan ekstra-kulikuler di sore hari yang wajib diikuti semua mahasiswa muslim), menghentikan saya dan bertanya to the point: “Dek, kok temannya banyak yang non-muslim?” Saya yang keheranan dan kaget akhirnya cuma membalas dengan senyuman dan berlalu meninggalkan Si Mbak itu. Memangnya kenapa kalau saya berteman dengan non-muslim? Orang tua saya saja tidak pernah melarang saya bergaul dengan non-muslim. Atau lain waktu ketika saya sedang buru-buru menuju ruang kelas, kakak (di PAI dipanggil akhwat) yang lain tiba-tiba menghentikan saya dan bertanya: “Kok nggak pakai kaos kaki, Dek?” sambil pandangannya menatap kaki saya yang memang kelihatan cuma pakai sepatu sandal tanpa kaos kaki. Beberapa kali kejadian semacam itu saya alami membuat saya sedikit resah. Saya pun memutuskan menulis surat kepada Abah, selain menyampaikan kabar saya secara umum, juga menyampaikan keresahan saya itu. Balasan surat Abah membuat saya tenang dan kemudian menanggapi teguran semacam itu dengan santai saja.

Sikap Abah yang demokratis dan menghargai hak pilih anak juga terlihat ketika tiba saatnya saya memasuki tahap kehidupan yang berikutnya, yaitu menikah. Banyak orang yang menyangka saya “dijodohkan” ketika mengetahui saya menikah dengan suami yang kebetulan sama-sama berasal dari pesantren dan aktivis NU pula. Padahal kenyataannya tidak demikian. Mas Ulil yang saat itu aktif di Lakpesdam Jakarta meminta tolong kepada atasannya, yaitu Pak Masykur Maskub – Allah yarham – untuk menemui Abah di Rembang, menjajaki kemungkinan untuk melamar saya. Waktu itu jawaban Abah sederhana: “Yang (nantinya) mau menikah ‘kan anak saya, yang sekarang masih di Yogya, ya silakan kontak sendiri sama dia,” sambil memberikan alamat saya di Yogya.

Beberapa hari setelah itu, ketika kami berbicara melalui telepon, Abah dengan ringan mengabarkan kalau ada pemuda yang “menanyakan” perihal saya. Aktivis dan kolumnis, begitu beliau menggambarkan identitas pemuda itu. Semula saya kira Abah bercanda dan menggoda saya saja. Tapi, tidak sampai seminggu setelah itu saya menerima amplop tebal bercap pos Jakarta, yang berisi proposal untuk menikah, lengkap dengan CV segala. Cerita selanjutnya tentu sudah menjadi rahasia umum.

Yang perlu saya tekankan di sini, sejak Abah menerima “tamu istimewa” dari Jakarta itu, sama sekali tidak ada campur-tangan beliau, entah sekedar membujuk apalagi memaksa. Keputusan diserahkan sepenuhnya kepada saya: jika memang cocok silakan, tapi kalau tidak pun tidak mengapa.

Sikap beliau ini juga berlaku pada adik-adik saya yang lain. “Keberhasilan” Mas Ulil menikahi saya akhirnya juga menginspirasi beberapa anak muda yang kebetulan memang dekat dengan Abah, entah itu seniman atau aktivis NU, untuk berusaha menjadi menantu Abah. Sayangnya, mereka kurang beruntung karena adik-adik saya yang “diincar” tidak merasa cocok/sreg dengan mereka, dan kemudian memilih jodohnya sendiri.

Sepanjang ingatan saya, Abah juga jarang atau hampir tidak memarahi kami, anak-anaknya.  Belakangan saya tahu bahwa Abah seringkali menumpahkan kekesalan atau kemarahan (terhadap siapa pun) dengan cara menulis atau menggambar. Tetapi, menjelang saya menikah, Abah Nampak berbeda. Rasanya saat itu kesalahan sekecil apa pun akan dengan mudah membuat Abah marah. Pokoknya, suasana terasa tegang sekali hari-hari itu. Saya menduga Abah sedikit tertekan menghadapi hajatan besar untuk pertama kalinya, sekaligus “melepas” salah satu anaknya memasuki babak baru, pernikahan. Ternyata memang benar itulah yang terjadi: saat pembubaran panitia pernikahan, di depan sanak-kerabat yang hadir, Abah yang waktu itu sudah jauh lebih santai berkata dengan nada bercanda: “Saya sempat khawatir, jangan-jangan saya mendapat menantu, tetapi harus kehilangan istri…” untuk menggambarkan bagaimana tegangnya hubungan Abah dan Ibuk saat itu: tiap kali Abah memarahi salah satu dari kami, Ibuk akan ngotot membela karena melihat kami bekerja keras menyelesaikan tugas berat itu. Jadi, akhirnya Abah dan Ibuk berantem seru, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Syukurlah semua akhirnya berjalan lancar.

Sisi lain yang jarang diketahui orang dari Abah adalah kebiasaan beliau bermanja-manja kepada anaknya. Kalau sedang berkumpul semua, masing-masing anak akan diberi tugas, misalnya memijat punggung atau kaki beliau. Ada juga yang kebagian tugas memotong kuku beliau. Tapi kami semua senang melakukannya, karena saat santai seperti itu makin langka seiring kesibukan Abah yang makin padat, juga karena beberapa di antara kami sudah menikah dan tinggal bersama dengan suami dan anak di kota lain. Jadi, kalau ada kesempatan berkumpul, pasti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Sebagai kepala keluarga dengan banyak anak dan santri yang selalu siap melayani kebutuhan beliau, banyak yang heran melihat Abah masih suka masak sendiri di dapur. Memang, tidak setiap hari, tapi jika ada waktu dan mood, beliau akan berkreasi di dapur, dibantu salah satu dari kami. Masakannya sih sederhana saja seperti sarden kalengan yang ditumis pakai bawang dan tomat atau sambel terong.

Bicara soal makan, ada aturan tidak tertulis di rumah kami, yaitu seluruh anggota keluarga harus hadir saat makan siang. Waktu sarapan boleh saja tidak berbarengan, demikian juga makan malam, tapi makan siang, harus. Abah tidak akan memulai menyuap nasi jika semua anaknya belum berkumpul di meja makan. Suasana makan bersama ini seru dan meriah sekali, juga terasa santai karena aturan makan yang ‘resmi’ tidak berlaku di sini: tidak ada sendok dan garpu, apalagi pisau, semuanya memakai tangan alias ‘muluk’. Kami juga tetap bercakap-cakap tentang banyak hal, walaupun mulut mengunyah makanan. Satu hal yang perlu diperhatikan, karena makan pakai tangan, harus tersedia kobokan (wadah kecil berisi air untuk cuci tangan, belakangan fungsinya digantikan oleh wastafel yang lebih modern dan hygienis) dan serbet makan. Yang disebut terakhir ini justru yang terpenting, karena jika Abah telah selesai makan dan cuci tangan, dan beliau tidak menemukan serbet di meja, maka orang yang duduk persis di sebelah beliau akan menanggung akibatnya: baju/kaosnya akan digunakan untuk mengelap tangan dengan semena-mena. Untungnya kami biasa memakai baju santai di rumah, jadi hal itu bukan masalah besar. Justru membuat suasana makin seru karenaa sang “korban” bakalan diledek habis-habisan oleh seisi rumah.

Mungkin di antara ketujuh anaknya, hanya saya yang mempunyai pengalaman istimewa, diladeni Abah. Waktu itu saya hamil anak pertama, berat sekali karena saya hampir tidak bisa makan apa pun. Ibuk tidak tega membiarkan saya sendirian di Jakarta saat suami bekerja, dengan kondisi seperti itu. Akhirnya, saya diantar suami pulang ke Rembang, tinggal di sana setidaknya sampai kondisi saya membaik. Suatu ketika, sudah lewat tengah malam saat itu, saya tidak bisa tidur karena merasa sangat lapar, tapi terlalu lemah untuk bangkit dari tempat tidur dan mencari sesuatu untuk dimakan. Akhirnya, saya hanya bisa menangis diam-diam. Tak lama kemudian Abah datang menghampiri saya. Memang beliau sering terjaga hingga subuh, biasanya menulis atau mengaji, dan kebetulan kamar kerja beliau memang berdekatan dengan kamar saya. Begitu mendengar keluhan saya, beliau langsung keluar lagi dan beberapa saat kemudian kembali ke kamar dengan membawa lepek (piring kecil), berisi apel yang telah dikupas, dan dipotong kecil-kecil. Saya sangat terharu dibuatnya.

Cucu pertama Abah akhirnya lahir di bulan Mei 1998, laki-laki, kami beri nama Ektada Bennabi Mohamad, dipanggil Iben. Saya bersyukur melahirkan di Rembang, karena beberapa saat setelah kelahiran anak pertama saya itu, di Jakarta ada kerusuhan besar menjelang reformasi. Setelah anak kami berumur sekitar 4 bulan, akhirnya kami diizinkan boyongan ke Jakarta. Saking sayangnya kepada cucu pertamanya, Abah menjadi rajin ke Jakarta. Sebelum ada Iben, setiap kali ada undangan ke Jakarta, Abah sering menolak karena merasa perjalanan terlalu jauh (Abah kurang suka bepergian menggunakan pesawat). Tapi begitu ada Iben, Abah menjadi begitu bersemangat jika ada undangan ke Jakarta, karena bisa sekalian menengok cucunya. Kadang kalau beliau kangen dan tidak ada acara di Jakarta, saya yang dipanggil pulang.

Sekarang cucu Abah semuanya 8, laki-laki semua. Semua dekat dengan Mbahkungnya. Jika sedang berkumpul semua, ramainya luar biasa. Lucunya, kadang jika Abah memanggil salah satu cucunya, sekedar mengecek atau mengabsen, yang lain akan protes: “Kok saya nggak dipanggil, Mbahkung?” Abah memang punya kharisma dan daya tarik luar biasa, bahkan buat anak-anak kecil juga. Bukan hanya cucunya sendiri, tapi hampir semua anak kecil yang datang ke rumah, entah ada hubungan keluarga ataupun tidak, pasti betah kalau digendong Abah.

Begitulah, buat saya – dan pasti adik-adik saya juga merasakan hal yang sama – Abah memang sosok luar biasa: Abah yang istimewa, mertua yang bijak, dan Mbahkung yang dicintai semua cucunya.

~oOo~

Artikel ini dapat ditemukan di buku Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu (LKiS, 2009) ditulis oleh Ienas Tsuroiya. Buku ini berupa bunga rampai diterbitkan dalam rangka penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada KH A. Mustofa Bisri di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 30 Mei 2009. Tulisan-tulisan di buku ini menggambarkan sosok Gus Mus dari berbagai sudut.
Sengaja saya pilih tulisan dengan judul Abah yang Istimewa ini. Maklum, saya sedang belajar menjadi ayah yang istimewa bagi anak-anak saya dan mudah-mudahan juga nantinya saya menjadi seorang kakek yang dicintai oleh cucu-cucu saya.
Terima kasih Anda telah sudi meluangkan waktu membaca artikel yang cukup panjang ini, semoga memberikan inspirasi.