Manager tidak harus berarti bos

Forum Jumat Petang (FJP) minggu lalu kedatangan tamu istimewa, seorang praktisi manajemen yang sering memberikan pelatihan-pelatihan di perusahaan. Mumpung ia sedang berada di FJP, kami mendaulat untuk sekedar berbagai cerita yang tentunya akan membuka wawasan kami dalam hal manajemen atawa ke-HRD-an.

Adalah Cak Husodo, HR senior manager pada sebuah perusahaan multi nasional yang tengah berkembang pesat mengajukan sebuah pertanyaan, “Begini Bang, lebih baik mana saya mengangkat karyawan lama menjadi manajer atawa mengambil dari luar? Saya sih inginnya ada gerbong berjalan. Satu-dua staf saya jauh-jauh hari sudah saya persiapkan untuk menjadi manajer.”

“Sebelum menjawab pertanyaan Cak Husodo saya ingin menceritakan pengamatan saya terhadap sebagian besar profesional di Indonesia. Rata-rata stamina kesabaran para profesional itu untuk menjadi the winning manager sangat rendah. Cara yang mereka tempuh biasanya menjadi kutu loncat. Taruhlah di perusahaan A, ia staf biasa. Melamar ke perusahaan B, dengan jabatan supervisor, misalnya. Kemudian, ia pindah perusahaan dan diterima sebagai seorang manajer. Mereka kelewat kesusu untuk cepat naik jabatan, gaji besar, dapat jatah mobil baru, berpenampilan keren yang dilengkapi dengan smartphone tercanggih dan sebagainya. Bagi sebagian perusahaan, hal ini menimbulkan kecemburuan bagi karyawan lama,” papar si Abang praktisi manajemen itu. read more

Merindu ibu

Di tengah belantara gedung pencakar langit Jakarta, seorang eksekutif muda sedang melakukan presentasi. Ia melirik ponsel pintarnya yang tergeletak di meja layarnya menyala sebagai tanda ada panggilan masuk. Sejenak ia lirik ponselnya itu, ada panggilan dari ibunya. Ia tak mau meeting dengan rekan bisnisnya terganggu, maka ia matikan ponsel. Lalu melanjutkan presentasinya.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia menerima telepon dari seseorang. Sambil tetap menyetir mobilnya, ia berkomunikasi dengan ponselnya. Sementara itu ponsel miliknya yang lain yang terletak di dasbor mobil layarnya menyala sebagai tanda ada panggilan masuk. Ia raih ponselnya itu, ada panggilan dari ibunya. Karena ia masih sibuk berkomunikasi dengan ponsel yang lain, ia matikan panggilan ibu.

Sementara itu, nun di sebuah kota yang jaraknya lebih dari seratus kilometer ada seorang ibu yang tengah merana. Betapa ia merindui anak lelakinya itu, beberapa kali ia menghubungi ponsel anaknya tiada terjawab. Untuk melampiaskan kerinduan kepada anak lelakinya, ibu itu mengumpulkan mainan masa kecil anak lelakinya, satu per satu ia bersihkan mainan-mainan itu. Di ruang keluarga yang lapang, ibu yang sedang merindui anaknya itu duduk sendirian. Ia kadang menyapukan pandangan, di sana ada banyangan bocah lelaki sedang berlainan sambil bermain pesawat terbang. read more

Menunggu duel El vs Farhat

Televisi mungil yang nangkring di atas lemari warung kopi “Mampir Ngombe” sedang menayangkan acara infotainment. Pembawa acara yang bibirnya menye-menye dengan aksen suara yang dibuat-buat itu seolah memprovokasi dua pihak yang sedang berseteru. Ia sedang mewartakan perseteruan antara Farhat Abbas dengan El, anaknya musisi Ahmad Dhani. El menantang adu jotos Farhat Abbas di atas ring tinju untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Ganteng tenan El iku, rek. Saya sih njagoin dia. Farhat bisa-bisa KO di ronde satu!” komentar Yu Manuhara, pemilik warung kopi. “Al nggak usah mbantuin El, deh. Badan gembul si Farhat bukan jaminan menang.”

Para lelaki pelanggan kopi buatan Yu Manuhara pada tersenyum mendengar celotehannya. Bahkan ada satu orang yang sampai keselek ketika makan pisang goreng.

“Kenapa keselek, Cak? Apa ada yang aneh dalam ucapanku tadi?” tanya Yu Manuhara kepada Cak Kandam. read more