Manager tidak harus berarti bos

Forum Jumat Petang (FJP) minggu lalu kedatangan tamu istimewa, seorang praktisi manajemen yang sering memberikan pelatihan-pelatihan di perusahaan. Mumpung ia sedang berada di FJP, kami mendaulat untuk sekedar berbagai cerita yang tentunya akan membuka wawasan kami dalam hal manajemen atawa ke-HRD-an.

Adalah Cak Husodo, HR senior manager pada sebuah perusahaan multi nasional yang tengah berkembang pesat mengajukan sebuah pertanyaan, “Begini Bang, lebih baik mana saya mengangkat karyawan lama menjadi manajer atawa mengambil dari luar? Saya sih inginnya ada gerbong berjalan. Satu-dua staf saya jauh-jauh hari sudah saya persiapkan untuk menjadi manajer.”

“Sebelum menjawab pertanyaan Cak Husodo saya ingin menceritakan pengamatan saya terhadap sebagian besar profesional di Indonesia. Rata-rata stamina kesabaran para profesional itu untuk menjadi the winning manager sangat rendah. Cara yang mereka tempuh biasanya menjadi kutu loncat. Taruhlah di perusahaan A, ia staf biasa. Melamar ke perusahaan B, dengan jabatan supervisor, misalnya. Kemudian, ia pindah perusahaan dan diterima sebagai seorang manajer. Mereka kelewat kesusu untuk cepat naik jabatan, gaji besar, dapat jatah mobil baru, berpenampilan keren yang dilengkapi dengan smartphone tercanggih dan sebagainya. Bagi sebagian perusahaan, hal ini menimbulkan kecemburuan bagi karyawan lama,” papar si Abang praktisi manajemen itu.

Kemudian ia melanjutkan paparannya. “Intinya mereka lebih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya kosmetis belaka. Belum tentu nantinya ia menjadi bos yang baik bagi bawahannya yang nota bene orang-orang lama di perusahaan. Apalagi mereka itu datangnya ujug-ujug, belum teruji dengan pengalaman hal-hal yang fundamental di perusahaan tempatnya bekerja. Tak jarang para manajer baru itu tak paham proses-bisnis perusahaan. Kalau sudah begini, cilaka betul.”

Saya manggut-manggut membenarkan pengamatan dan pendapatnya, kemudian bertanya kepada Cak Husodo.

“Rencana sampeyan sendiri bagaimana, Cak. Apakah staf sampeyan itu diangkat jadi manajer sekaligus membawahi anak buah?”

“Justru hal ini mau tak tanyakan ke Abang kita. Bagaimana tuh, Bang?” pandangan Cak Husodo diarahkan ke si Abang.

Ketika si Abang mau menjawab, makanan dan minuman datang. FJP dilaksanakan di rumah makan langganan. Jeda sejenak untuk memberi kesempatan pelayan rumah makan menatanya di meja.

“Begini, saya jawab singkat sebelum kita makan. Manajer tidak harus berarti bos, karyawan yang punya bawahan. Bisa saja manajer itu karyawan mandiri yang nggak punya anak buah. Toh bagaimana pun, ia harus bisa menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Ia harus bisa mengorganisasikan segenap sumberdaya yang ada di dalam dirinya, hingga ia dapat menyabet setiap peluang yang ada di sekelilingnya. Kalau ia sudah bisa menjadi manajer bagi dirinya sendiri, bolehlah meningkat dengan mengorganisasikan orang lain yang nanti menjadi anak buahnya. Ada loh seorang manajer yang cara bekerjanya masih menunggu perintah dari atasannya.”

“Manajer yang seperti itu nggak kreatif babar blas,” ujar Haji Yono, yang di FJP memang terkenal dengan sentilannya. “Wis, saiki mangan dhisik. Ntar dilanjutkan lagi bahasannya.”