Muzdalifah

10 Dzulhijjah 1429 H

Saya berangkat haji ikut Kloter 44 JKS gelombang 2 – dari Jakarta langsung ke Mekkah dulu (baru nanti ke Madinah) karena waktu sudah mendekati pelaksanaan ibadah haji.

Prosesi wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1429 H kami lalui dengan lancar. Selepas maghrib kami bergerak ke Muzdalifah – area/wilayah yang terbuka di antara Mekkah dan Mina yang merupakan tempat jamaah haji diperintahkan untuk singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah, dengan menggunakan bus. Dari tanah air kami sudah diingatkan oleh Pembimbing Haji agar membawa stok kesabaran yang sangat banyak, dan terbukti saat jutaan orang berkumpul di satu tempat di saat puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina kesabaran seseorang akan diuji habis-habisan.

Menjelang tengah malam, kami sampai di Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah merupakan salah satu rukun haji. Hal pertama yang saya lakukan menggelar tikar – yang saya sebelumnya saya beli di Toko Serba 2 riyal tak jauh dari Masjidil Haram, cukup untuk duduk bertiga: saya, istri dan ibu mertua dan menaruh 3 tas tenteng warna biru dengan cap Saudi Airlines. Setelah itu saya mengambil batu kerikil untuk melempar jumroh di Mina nanti. read more

Menafsir mimpi Pak Beye

Sumber: Dari berita ini.

Ini reka-ulang mimpi panjang Pak Beye versi saya:

Pilpres 2024 pun berjalan dengan aman dan damai. Meskipun ada beberapa pihak yang kecewa dengan hasil pilpres tersebut, namun tidak ada yang mengajukan gugatan melalui MK. Telah terjadi pula rekonsiliasi antar mantan presiden dan mereka bersepakat untuk pulang ke kampung halaman masing-masing dengan naik KA bersama-sama.

Tentu saja, satu gerbong. Tiket sudah dipesan. Mereka akan naik KA Ganjaryana Luxury, sebuah KA yang termasuk salah satu kasta tertinggi di antara kelas-kelas KA yang dimiliki oleh KAI. read more

Ngèngèr

Kehilangan arah. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku mesti mencari ke mana? Kesasar? Aku adalah anak kecil seusia dua bulan ditinggal oleh ibu dan saudara-saudaraku. Atau malah aku yang meninggalkan mereka?

Malam itu jalanan masih ramai, ibu membawa kami ke sebuah warteg – ia berharap ada sisa ikan atau potongan ayam di bawah kursi – yang kemudian akan kami makan bersama-sama. Waktu itu, aku malah asyik mengejar sampah kertas yang terbawa angin. Aku berlari menjauhi warteg. Dan aku pun bingung ke arah mana untuk kembali ke ibu dan saudara-saudaraku.

Aku memanggil nama mereka – lantang sekali – sesekali menangis. Dalam keadaan perut lapar dan menahan rasa haus aku terduduk di samping bak sampah di depan sebuah rumah bercat putih sambil menahan tangisku. Malam itu aku tidak bisa tidur, bahkan masih terjaga menjelang subuh. read more