“Sebelum kamu mengunjunginya, Mekkah akan selalu menantimu. Ketika kamu meninggalkannya, Mekkah akan selalu memanggilmu kembali. Selamanya…,” kata Mas Suryat kepada Kang Edo, sahabatnya.
“Iya mas. Penantian lima tahun nih, sejak aku ke sana pada musim haji. Alhamdulillah, akhirnya pertengahan bulan ini aku jadi berangkat umroh. Untuk ngecas iman,” tukas Kang Edo berseri-seri.
“Loh, ngapain jauh-jauh ke Mekkah kalau hanya sekedar ngecas iman. Bukankah di sini juga bisa. Misalnya dengan mengikuti tausiyah para mubaligh atau ngaji malam jumatan di majlis taklim,” komentar Cak Munawir. Beliau ini juga bersahabat erat dengan Mas Suryat maupun Kang Edo.
“Beda rasanya, Cak. Ibarat voltase listrik, ngecas iman di Mekkah setrumnya lebih mengena. Pendapat Mas Suryat bagaimana?” sahut Kang Edo.
Mas Suryat mengangkat tangan, tanda minta jeda sejenak karena extension-nya berdering dan harus ngangkat telepon dulu.
“Loh, ke Mekkah kan mahal? Atau yang paling murah ya dengar tausyiah sambil tiduran lihat ceramah subuh di tipi he..he..,” sahut Cak Munawir.
“Menurutku sih, Kang Edo benar,” kata Mas Suryat sambil meletakkan gagang telepon, “Kata pepatah Jawa jer basuki mawa bea.”
“Nah… itu! Entah haji entah umroh perlu biaya mahal. Itu yang aku nggak sanggup!” sergah Cak Munawir.
“Ngene Cak. Ini menurut pendapat pribadiku. Setiap muslim, yakni orang yang sudah bersyahadat, pasti sudah dipanggil oleh Gusti Allah untuk datang ke rumahNya, ke Mekkah, di mana bangunan Kabah berdiri kokoh di sana. Masalahnya, kita mau mendengar apa nggak panggilan itu,” papar Mas Suryat.
“Kalau pun aku mendengar, tapi nggak punya biaya piye mas?” Cak Munawir ngeyel.
“Bukankah Gusti Allah Maha Kaya, Cak? Mudah bagiNya memberikan ongkos pergi ke rumahNya, bukan?” Kang Edo memberikan pendapatnya.
“Yup. Aku sepakat dengan Kang Edo. Dia yang memanggil, Dia yang akan bertanggung jawab bagaimana kita bisa sampai ke rumahNya. Kita yang dipanggil olehNya tinggal menjawab: labaik allahuma labaik. Ya Allah aku datang karena panggilanMu. Ngono, Cak!” kata Mas Suryat.
“Nah, sudah jelas perbedaan ngecas iman di sini dan di sana. Di Masjidil Haram kita akan beribadah sepuas hati. Bertawaf dan bersa’i bersama ribuan orang melafalkan asma Allah. Kemudian kita berkunjung ke rumah Kanjeng Nabi, lagi-lagi kita beribadah sepuas hati. Kita tumpahkan rindu kepada manusia paling agung di muka bumi. Kita shalat di masjidnya. Kita bershalawat dekat dengan makamnya. Apa nggak nyetrum beribu voltase, Cak?” kata Kang Edo berapi-api.
“Tapi aku nggak punya uang!” kata Cak Munawir.
“Pamali Cak, ngomong nggak punya uang. Taruhlah di kantong celanamu tinggal seribu, artinya kamu punya uang. Seperti kata Kang Edo tadi. Gusti Allah Maha Kaya. Kita tinggal meminta kepadaNya. Tapi ya kudu sabar,” kata Mas Suryat.
Labaik allahuma labaik.