Nyarap Tamis di Rumah Kanjeng Nabi

Berada di Madinah selama tiga hari terasa sangat cepat berlalunya. Kami – rombongan umroh MQ – pada Minggu, 24 Februari 2013 selepas lohor bergerak menuju Mekkah untuk melaksanakan umroh. Sebagaimana adabnya orang bertamu, kami pun mesti pamit kepada si empunya rumah yakni Kanjeng Nabi.

Shalat di Masjid Nabawi sangat nikmat, apalagi di dalamnya ada Raudhah – taman surga, di mana siapa yang bisa shalat dan berdoa di sana akan diijabah oleh Gusti Allah. Tentu untuk doa yang mustajab, syarat dan ketentuan berlaku. Alhamdulillah, kali ini saya mendapatkan kesempatan melakukan shalat dengan cukup nyaman di Raudhah. Maklum, untuk bisa shalat di tempat yang ditandai dengan karpet warna abu-abu itu mesti memerlukan perjuangan. Antrian berjubel. Saya datang ke sana, dua atawa tiga jam sebelum shalat subuh. read more

Panggilan Nabi Ibrahim

Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al-Hajj : 27)

Dalam suatu riwayat diceritakan, setelah Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, maka Allah memerintahkan kepadanya untuk menyeru umat manusia untuk pergi haji. Nabi Ibrahim agak ragu, apakah suara panggilannya akan didengarkan atawa tidak. Kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku ini bisa sampai?” Kemudian Allah berfirman: “Seru sajalah, Aku (Allah) yang akan menyampaikannya”. Kemudian Nabi Ibrahim naik ke Jabal Qubaisy dan menyeru: “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu untuk berhaji di rumah Allah ini, agar Allah mengganjar kepadamu surga dan melepaskan dari siksa neraka, maka berhajilah”.

Syahdan, pohon-pohon dan gunung-gunung pun merunduk. Suara panggilan Nabi Ibrahim untuk berhaji itu terdengar ke seluruh dunia. read more

Berhaji, menambah kemesraan

Ketika menghadiri acara pamitan haji seorang kawan, saya mendengar uraian Pak Ustadz yang berceramah, intinya pergi haji itu dapat menumbuhkan dan mempererat kekerabatan antar jamaah, baik itu statusnya orang lain atawa keluarga sendiri. Bahkan dalam hubungan keluarga akan menambah kemesraan.

Ya, saya sepakat dengan pendapat Pak Ustadz tersebut. Betapa tidak, hidup bersama selama 24 jam X 40 hari di Tanah Haram kita dituntut untuk memahami perbedaan sikap, sifat dan perilaku orang lain di negeri orang. Ternyata, perbedaan itu sangat indah. Di sana harus membuang jauh-jauh sifat egois, karena sikap yang sangat dibutuhkan adalah saling membantu dan menolong. Tak heran, sepulang berhaji nanti hubungan silaturahim antar jamaah masih terjalin baik di Tanah Air.

~oOo~ read more