Ngèngèr

Kehilangan arah. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku mesti mencari ke mana? Kesasar? Aku adalah anak kecil seusia dua bulan ditinggal oleh ibu dan saudara-saudaraku. Atau malah aku yang meninggalkan mereka?

Malam itu jalanan masih ramai, ibu membawa kami ke sebuah warteg – ia berharap ada sisa ikan atau potongan ayam di bawah kursi – yang kemudian akan kami makan bersama-sama. Waktu itu, aku malah asyik mengejar sampah kertas yang terbawa angin. Aku berlari menjauhi warteg. Dan aku pun bingung ke arah mana untuk kembali ke ibu dan saudara-saudaraku.

Aku memanggil nama mereka – lantang sekali – sesekali menangis. Dalam keadaan perut lapar dan menahan rasa haus aku terduduk di samping bak sampah di depan sebuah rumah bercat putih sambil menahan tangisku. Malam itu aku tidak bisa tidur, bahkan masih terjaga menjelang subuh. read more

Lagi lemu

Timbangan yang terletak di depan kamar akhir-akhir ini mengeluh jika saya berdiri di atasnya. Kok makin berat bos. Bagaimana tidak, setiap menimbang berat badan, makin bertambah saja angka yang muncul. Kalau dhitung dengan metode BMI (Body Mass Index), ketemu hitungan >25, yang berarti kelebihan berat badan. Indikator paling jelas adalah kemeja ukuran L (dan bahkan yang XL) sudah berasa sesak. Jika dipaksakan untuk dikenakan maka 2 kancing di bawah tidak bisa dikaitkan. read more

Tanpa kaca mata

Punya mata normal kembali sangat membahagiakan. Alkisah, karena faktor usia mata yang lebih dari setengah abad, kedua mata saya terkena katarak. Lensa mata keruh – yang pada saat terpejam saya bisa menyaksikan aneka bentuk benda asing ukuran mini melayang-layang di sana.

Karena lensa keruh maka penampakan pandangan mata seperti berkabut dan jika malam hari sedang berkendara, sorotan lampu dari mobil depan yang bersimpangan sangat menyilaukan mata. Dengan alasan itu saya menghindari perjalanan panjang di malam hari, lebih memilih berkendara di siang hari. read more