Ngèngèr

Kehilangan arah. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku mesti mencari ke mana? Kesasar? Aku adalah anak kecil seusia dua bulan ditinggal oleh ibu dan saudara-saudaraku. Atau malah aku yang meninggalkan mereka?

Malam itu jalanan masih ramai, ibu membawa kami ke sebuah warteg – ia berharap ada sisa ikan atau potongan ayam di bawah kursi – yang kemudian akan kami makan bersama-sama. Waktu itu, aku malah asyik mengejar sampah kertas yang terbawa angin. Aku berlari menjauhi warteg. Dan aku pun bingung ke arah mana untuk kembali ke ibu dan saudara-saudaraku.

Aku memanggil nama mereka – lantang sekali – sesekali menangis. Dalam keadaan perut lapar dan menahan rasa haus aku terduduk di samping bak sampah di depan sebuah rumah bercat putih sambil menahan tangisku. Malam itu aku tidak bisa tidur, bahkan masih terjaga menjelang subuh.

Dari dalam pintu pagar Rumah Putih itu aku melihat ada anak sepantaranku berjalan mendekati pintu pagar dan menyapaku. Kami saling bercakap dan aku ceritakan masalah yang tengah aku hadapi.

“Namaku Bejo. Kamu siapa? Tinggallah di sini bersamaku,” pintanya kepadaku.

“Aku tidak punya nama. Tapi bagaimana cara aku bisa masuk ke dalam? Pagarnya terlalu tinggi dan aku belum bisa melompatinya,” jawabku sedih.

“Tunggulah kawan, pemilik rumah ini sebentar lagi keluar untuk subuhan,” terangnya.

Dan benar saja yang dikatakan Bejo. Seorang lelaki tua keluar dari pintu garasi lalu menyapa Bejo. Kenapa kamu berisik, Jo. Siapa yang di luar itu. Lelaki itu membuka pintu pagar dan mengangkatku. Kamu saudaranya Bejo? Mau ikut tinggal di sini? Aku pun diberi makan, berbagi dengan Bejo.

Belakangan aku tahu kalau nasib Bejo mirip denganku, ia juga pernah terlunta-lunta karena terpisah dengan ibunya dan akhirnya ngèngèr di Rumah Putih.

***

Tiga bulan sudah aku ikut ngèngèr di Rumah Putih. Kini aku mempunyai nama: Upik. Dan nama Bejo diganti menjadi Ujo. Kami dikenal sebagai Duo-U. Ujo-Upik. Ujo berkelamin jantan, aku betina. Ya, kami adalah anak-anak kucing yang saat ini sedang nakal dan lucu. Maaf buk, kami sering merusak tanaman kesayanganmu.

Tempat tinggal kami di teras dengan kandang kecil, dengan jatah makan yang terjamin serta toilet yang selalu bersih. Sesekali kami diperbolehkan masuk rumah, bergaul dengan para senior kami yang jumlahnya ada enam: Abah, Uncle, Ateu, Bibib, Jek dan Oyen. Sejauh ini, kami tidak ada niatan meninggalkan Rumah Putih.

Catatan kaki:
Secara harfiah ngèngèr artinya ikut orang lain. Tradisi ngèngèr merupakan bentuk solidaritas masyarakat Jawa untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dan masyarakat, dengan cara mengizinkan pelaku ngèngèr tinggal menetap bersama keluarga yang menjadi tempat ngèngèr. Pelaku ngèngèr akan diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal maupun non-formal serta ditanggung seluruh biaya hidupnya.