Hanoman Duta

Pagi ini aku malas beranjak dari tempat tidurku. Sebetulnya sejak pertama kali terdengar ayam berkokok mataku sudah terbuka dan sejak itu sulit untuk terpejam. Dari jendela kamar sinar matari mulai menerangi halaman rumahku yang tak seberapa luas. Aku bisa melihat dengan jelas, bunga wijaya kusuma yang mekar semalam masih belum layu.

Ah! Mengapa pagi-pagi seperti ini ada orang yang mengetuk pintu rumahku keras-keras?

Dengan langkah lunglai aku menuju pintu dan membukanya. Seseorang telah berdiri di depan pintu dengan wajah serius dan membuka percakapan tanpa basa-basi: Hanoman, engkau diminta menghadap Prabu Rama. Sekarang juga!

***

Aku duduk bersila di hadapan Prabu Rama dan segera saja ia memberikan titahnya: segeralah berangkat ke Alengka untuk melihat keadaan istriku yang sudah sebulan ini diculik oleh Rahwana.

Misi yang dibebankan ke atas pundakku untuk memastikan Shinta – istri Prabu Rama, aku laksanakan dengan sepenuh hati. Aku menempuh perjalanan ke Alengka membutuhkan waktu sepekan. Jika kelak ada kisah yang menceritakan aku bisa terbang menuju Alengka janganlah kalian percaya. Aku ke Alengka dengan menyeberangi lautan.

Sangat mudah bagiku menyusup masuk istana Alengka. Pengaman mereka tidak terlalu ketat. Aku segera mengelilingi kompleks istana dan menemukan wastu yang khusus diperuntukkan sebagai tempat tinggal Shinta. Hmm, Shinta diperlakukan sangat terhormat oleh Rahwana. Berarti berita yang aku dengar selama ini hoax belaka. Hanya saja, ketika Shinta aku ajak pergi dari wastunya, ia berbisik kepadaku supaya Rama sendiri yang menjemputnya. Suami yang menjemput istinya.

Setelah yakin kalau istri junjunganku itu dalam keadaan baik-baik saja, aku iseng membuat ontran-ontran di lingkungan istana milik Rahwana. Aku membakar beberapa bangunan. Terjadi keributan. Orang-orang sibuk berlarian mencari sumber air untuk memadamkan api. Kelak insiden ini terkenal dalam kisah Hanoman Obong.

Gila, mengapa dalam keributan semacam itu Rahwana tak juga tampak batang hidungnya. Aku meloncat dari atap ke atap bangunan  mencari keberadaan Rahwana.

Arkian, aku menemukan Rahwana tengah bersemedi. Aku masuk dengan mengendap tanpa menimbulkan bunyi. O, ternyata langkahku yang super hati-hati itu terdengar oleh Rahwana. Ia berpaling ke arahku. Olala, betapa tampan wajah Rahwana. Bukankah ia sosok raksasa bermuka sepuluh? Di luar sana ia dijuluki Dasamuka. Ah, hoax lagi yang ditelan oleh orang awam. Rahwana bukan raksasa alih-alih bermuka sepuluh, ia berwajah tampan dan berwibawa.

Aku bertanya kepadanya.

“Tapi, benarkah engkau Raja Rahwana, penguasa Alengka yang kata orang berujud raksasa dan bermuka sepuluh? Dan mengapa engkau menculik istri junjunganku?”

“No… no… engkau salah besar anak muda. Aku tak menculik Shinta. Catat ini, aku mengambil yang menjadi hakku. Shinta itu anak kandungku, yang aku cari keberadaannya selama ini.”

“Maksudnya?”

Aku dengan gerakan refleks menggaruk kepala sambil menggelengkannya. Lagi-lagi aku terkejut dengan kenyataan itu. Hah? Kok bisa?

“Tentu saja engkau heran. Aku akan menceritakan kisah masa lalu yang nanti bisa engkau ceritakan juga kepada Prabu Rama yang menjadi junjunganmu. Sesungguhnya Rama itu tidak berhak memiliki Shinta, tanpa izinku.”

Kemudian Rahwana berkisah.

Aku melakukan protes kepada para dewa kenapa dilahirkan sebagai raksasa yang berkepala sepuluh. Sungguh sangat malu ketika aku diolok-olok orang sebagai Dasamuka. Aku pergi ke puncak gunung melakukan tapa-brata selama sepuluh tahun. Saban tahun aku penggal satu kepalaku. Ketika kepalaku tinggal satu, turunlah Bathara Narada. Ia mencegahku memenggal kepala yang terakhir.

Sampai pada kisah itu aku terkesima. Aku amati tubuh lelaki di hadapanku. Di lehernya tak ada lagi bekas sembilan cabang-leher yang tertebas oleh pedangnya sendiri.

Bathara Narada berkata bahwa kelak aku menjadi raja besar dengan didampingi seorang permasuri titisan Bathari Widyawati. Ramalan Narada benar adanya. Aku menjadi penguasa Alengka, dan Dewi Tari nan jelita sebagai istriku. Kami hidup bahagia sebagai suami istri.

Pada saat Tari hamil tua, aku pergi berperang memimpin pasukanku menaklukkan sebuah negeri. Selama aku tinggalkan Alengka, Tari melahirkan anak kembar, lelaki dan perempuan. Tari sendiri meregang nyawa.

Wibisana, adik kesayangku, pada saat Tari melahirkan ia menyaksikan dengan mata batinnya kalau Bathari Widyawati menitis ke jabang bayi yang perempuan. Wibisana yang tanggap ing sasmita, segera mengambil tindakan. Ia tak ingin kakaknya tahu kalau Bathari Widyawati menitis ke anak perempuannya, bisa-bisa aku nanti mengawini anakku sendiri.

Wibisana sempat gamang. Mungkinkah Rahwana mengawini anaknya sendiri? Bisa saja, karena selama ini Rahwana belum yakin kalau Tari titisan Bathari Widyawati. Kata-kata Bathara Narada selalu terngiang di benakku. 

Wibisana bersemedi sejenak, untuk melakukan langkah selanjutnya. Ia pun memilih membuang bayi perempuanku dengan cara melarungnya di sungai. Dari telik sandi yang aku sebarkan ke penjuru dunia aku memperoleh petunjuk kalau anak perempuanku diasuh oleh Prabu Arjuna Sasrabahu – Raja Mantili dan diberi nama Shinta.

Rahwana menghela nafas panjang dan dalam.

“Hanoman, bilang ke Rama supaya datang baik-baik kepadaku dan minta izin dan restuku untuk menjadikan Shinta istrinya.”

“Paduka, apakah Shinta sudah tahu kalau ia anak kandungmu?”

Rahwana menggelengkan kepalanya.

Aku memohon diri untuk kembali kepada Prabu Rama. Aku sendiri masih menyusun kalimat untuk meyakinkan Prabu Rama kalau keadaan istrinya baik-baik saja di istana Alengka.