Tanpa kaca mata

Punya mata normal kembali sangat membahagiakan. Alkisah, karena faktor usia mata yang lebih dari setengah abad, kedua mata saya terkena katarak. Lensa mata keruh – yang pada saat terpejam saya bisa menyaksikan aneka bentuk benda asing ukuran mini melayang-layang di sana.

Karena lensa keruh maka penampakan pandangan mata seperti berkabut dan jika malam hari sedang berkendara, sorotan lampu dari mobil depan yang bersimpangan sangat menyilaukan mata. Dengan alasan itu saya menghindari perjalanan panjang di malam hari, lebih memilih berkendara di siang hari. read more

Membaca buku (lagi)

Jauh sebelum pandemi, saya senang membeli dan menumpuk buku. Satu alasannya: nanti akan saya baca di saat pensiun! Meskipun waktu itu belum pensiun, saya tetap membaca beberapa buku yang tertumpuk di lemari buku hanya saja intensitas waktu membaca saya masih kalah dibandingkan dengan membuka ponsel pintar. Sungguh merugi yang sangat besar bagi manusia yang menyia-nyiakan waktunya.

Saat membuka ponsel tersebut, sebenarnya hal yang saya lakukan tersebut hanya menghabiskan waktu dan seringnya saya tak mendapatkan apa-apa: mengintip status WA orang, nonton tiktok-an yang tidak jelas, atau nonton potcast-an di yutub. Kalau baca berita di media online sering saya skip karena tulisan beritanya tertutup oleh iklan. Begitu berulang-ulang. read more

Hobi bapak

Saya mengenal burung merpati karena bapak pecinta burung merpati. Di era tahun 80-an, memelihara burung merpati sudah tren di kampung kami. Seingat saya, burung merpati peliharaan bapak ada puluhan, beberapa di antaranya menjadi kesayangan bapak. Bagi merpati yang disayang, oleh bapak diberi kalung dan sesekali dilatih terbang jauh dan tinggi. Tak lupa, ia menyematkan sawangan – sejenis peluit yang dipasang di pangkal ekor burung merpati. Jika burung tersebut melesat, peluit akan nyaring berbunyi. read more