Jauh sebelum pandemi, saya senang membeli dan menumpuk buku. Satu alasannya: nanti akan saya baca di saat pensiun! Meskipun waktu itu belum pensiun, saya tetap membaca beberapa buku yang tertumpuk di lemari buku hanya saja intensitas waktu membaca saya masih kalah dibandingkan dengan membuka ponsel pintar. Sungguh merugi yang sangat besar bagi manusia yang menyia-nyiakan waktunya.
Saat membuka ponsel tersebut, sebenarnya hal yang saya lakukan tersebut hanya menghabiskan waktu dan seringnya saya tak mendapatkan apa-apa: mengintip status WA orang, nonton tiktok-an yang tidak jelas, atau nonton potcast-an di yutub. Kalau baca berita di media online sering saya skip karena tulisan beritanya tertutup oleh iklan. Begitu berulang-ulang.
Suatu ketika, saya sangat ingin membaca buku. Bukan buku yang tertumpuk dan masih tersegel plastik yang saya baca, namun buku-buku lama yang pernah saya baca. Saya ingin membaca ulang, terutama novel-novel karya Remi Sylado, Pram, Suparto Brata, Arswendo dan Langit Krisna – yang ternyata jumlahnya banyak banget. Untungnya, buku-buku di lemari sudah saya susun berdasarkan penulisnya, jadi gampang untuk mencarinya.
Syahdan, saya pun membaca buku lagi. Dejavu kenikmatan membaca buku sambil ngopi di sore hari, lembar demi lembar aroma bau kertas meruap melalui lubang hidung kemudian meresap ke fikiran dan membuat saya seperti ikut larut dalam kisah yang diceritakan dalam novel tersebut. Kalau sudah begini, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?
Teryata tidak membuka ponsel dalam waktu yang lama tidak membuat saya ‘mati’ dan membaca buku malah membuat saya semakin ‘hidup’.