Menakar cinta Jonggrang

Kompleks Candi Prambanan di rembang petang. Saya mencari sudut yang pas untuk mengabadikan candi yang elok tersebut dengan latar belakang langit semburat warna merah matahari kala senja. Cukup waktu bagi saya untuk sekedar ngider di sana, sebab malam harinya saya ingin menyaksikan pentas Sendratari Ramayana.

“Kamu-kah yang bernama Kyaine Guskar, Kisanak?”

Saya menoleh ke arah suara perempuan yang menyapa saya dengan lembut. Saya agak terkejut melihat penampakannya. Perempuan dengan dandanan puteri keraton.

“Jangan kaget, aku Roro Jonggrang.”

“O, maaf. Apakah aku melanggar pamali hingga kamu datang menemuiku?”

Belum sempat Jonggrang menjawab pertanyaan saya, kembali saya berkata, tepatnya bertanya kepadanya.

“Bagaimana kamu tahu namaku?”

Ia tersenyum manis sekali, kemudian ia mempersilakan saya duduk di hadapannya. Saya duduk di bebatuan di samping Candi Brahma. read more

Anggrek untuk Mendut

Sungguh tidak enak menjadi seorang pingitan. Semenjak Tumenggung Wiroguna mengobrak-abrik tempat tinggal Adipati Pragola – tersebab pembangkangan terhadap titah Sultan Agung, kemudian Tumenggung Wiroguno menemukannya berada dalam sekapan Adipati Pragola, kini Mendut seperti burung terkunci dalam sangkar emas.

Nasib Mendut naas betul, terbebas dari Adipati Pragola kemudian terperangkap dalam pingitan Tumenggung Wiroguno. Cuma satu permintaan Tumenggung Wiroguno kepada Mendut: menjadi salah satu selirnya.

Mendut emoh, meskipun berkali-kali telah diiming-imingi dengan gelimang harta. Ia tak silau oleh banda yang ditawarkan oleh si tua bangka Wiroguno. Tak sekedar dipingit, Mendut mendapatkan aneka pelajaran tata-krama kehidupan keraton oleh para abdi dalem Wirogunan. read more

Kabinet Gajah Mada

Lelaki tua itu tiba-tiba keluar dari layar ponsel pintar yang sedang saya pegang ketika saya membaca sebuah web yang menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit. Ponsel saya mati, entah rusak atau battery-nya habis. Tetapi ujud lelaki tua itu semakin nyata. Ia tersenyum kepada saya lalu berkata, “Kisanak, maukah engkau aku ajak menjelajah negeri Majapahit yang terkenal itu?”

Belum tuntas keterkejutan saya atas penampakannya, kini malah ia berbicara kepada saya. “Tapi, siapa kakek ini?” saya memberanikan diri bertanya kepadanya.

“Orang-orang Majapahit memanggilku Kyaine Sampar Angin. Mau ndak?” ia mengulang ajakannya. Saya menganggukkan kepala.

***

“Sebentar lagi Mahapatih Gajah Mada membacakan sumpahnya! Kita menontonnya saja dari tempat ini,” ujar Kyaine dengan mata tetap terarah ke atas panggung di Pendapa Keraton Majapahit yang agung.

Perasaan saya campur aduk. Sungguh saya tak percaya kalau saya akan menjadi saksi sejarah pembacaan Sumpah Hamukti Palapa yang akan diikrarkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Beberapa kali saya cubit pipi dan lengan saya untuk memastikan kalau saya tidak sedang bermimpi.

Pembawa acara berbicara lantang, kalau sebentar lagi para pembesar Majapahit memasuki area panggung. Ia menyebutkan satu persatu pejabat negara Majapahit seperti Prabu Hayamwuruk, Tribhuwana Tunggadewi, Raden Cakradara dan masih banyak lagi. Tentu saja juga menyebutkan nama Mahapatih Gajah Mada.

Ketika nama Gajah Mada disebut sontak saya pasang mata baik-baik. Saya ingin melunaskan rasa penasaran saya bagaimana sosok dan bleger-nya Gajah Mada yang diam-diam saya idolakan itu. Apakah wajah Gajah Mada seperti yang digambarkan oleh Moh. Yamin, wajah yang mirip terakota celengan zaman Majapahit? Tak tak pernah yakin dengan dengan ilustrasi wajah Gajah Mada yang dibikin oleh Moh. Yamin tersebut. Apakah sosoknya tinggi besar dengan wajah sangar dan suara menggelegar?

Rupanya Kyaine membaca kegelisahan saya, lalu berkata, “Tahan gelisahmu Kisanak, sebentar lagi mereka keluar!” Kata mereka yang disebut Kyaine Sampar Angin adalah para penggede Majapahit. Dan memang benar, tak lama kemudian terdengar bunyi gong.

Tangan Kyaine menepuk pundak saya. “Lihat, Kisanak! Pria tampan yang tidak begitu tinggi itu Prabu Hayamwuruk, di belakangnya ibu Tribhuwana dan lelaki di sebelahnya tentu kamu mengenalnya.” read more