Lelaki tua itu tiba-tiba keluar dari layar ponsel pintar yang sedang saya pegang ketika saya membaca sebuah web yang menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit. Ponsel saya mati, entah rusak atau battery-nya habis. Tetapi ujud lelaki tua itu semakin nyata. Ia tersenyum kepada saya lalu berkata, “Kisanak, maukah engkau aku ajak menjelajah negeri Majapahit yang terkenal itu?”
Belum tuntas keterkejutan saya atas penampakannya, kini malah ia berbicara kepada saya. “Tapi, siapa kakek ini?” saya memberanikan diri bertanya kepadanya.
“Orang-orang Majapahit memanggilku Kyaine Sampar Angin. Mau ndak?” ia mengulang ajakannya. Saya menganggukkan kepala.
***
“Sebentar lagi Mahapatih Gajah Mada membacakan sumpahnya! Kita menontonnya saja dari tempat ini,” ujar Kyaine dengan mata tetap terarah ke atas panggung di Pendapa Keraton Majapahit yang agung.
Perasaan saya campur aduk. Sungguh saya tak percaya kalau saya akan menjadi saksi sejarah pembacaan Sumpah Hamukti Palapa yang akan diikrarkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Beberapa kali saya cubit pipi dan lengan saya untuk memastikan kalau saya tidak sedang bermimpi.
Pembawa acara berbicara lantang, kalau sebentar lagi para pembesar Majapahit memasuki area panggung. Ia menyebutkan satu persatu pejabat negara Majapahit seperti Prabu Hayamwuruk, Tribhuwana Tunggadewi, Raden Cakradara dan masih banyak lagi. Tentu saja juga menyebutkan nama Mahapatih Gajah Mada.
Ketika nama Gajah Mada disebut sontak saya pasang mata baik-baik. Saya ingin melunaskan rasa penasaran saya bagaimana sosok dan bleger-nya Gajah Mada yang diam-diam saya idolakan itu. Apakah wajah Gajah Mada seperti yang digambarkan oleh Moh. Yamin, wajah yang mirip terakota celengan zaman Majapahit? Tak tak pernah yakin dengan dengan ilustrasi wajah Gajah Mada yang dibikin oleh Moh. Yamin tersebut. Apakah sosoknya tinggi besar dengan wajah sangar dan suara menggelegar?
Rupanya Kyaine membaca kegelisahan saya, lalu berkata, “Tahan gelisahmu Kisanak, sebentar lagi mereka keluar!” Kata mereka yang disebut Kyaine Sampar Angin adalah para penggede Majapahit. Dan memang benar, tak lama kemudian terdengar bunyi gong.
Tangan Kyaine menepuk pundak saya. “Lihat, Kisanak! Pria tampan yang tidak begitu tinggi itu Prabu Hayamwuruk, di belakangnya ibu Tribhuwana dan lelaki di sebelahnya tentu kamu mengenalnya.”
Kyaine bermain teka-teki. Melihat sosoknya yang berjalan tertatih dan sakit-sakitan saya menduga kalau orang itu Raden Cakradara, ayah Hayamwuruk. Hmm, meskipun sudah setengah baya, Tribhuwana Tunggadewi masih terlihat pesona kecantikan sebagai puteri keraton. Dari sekian banyak pejabat Majapahit yang disebut oleh Kyaine hanya sebagaian saja yang saya ingat namanya.
“Tetapi yang mana Mahapatih Gajah Mada?” tanya saya kepada Kyaine.
“Sabar, sebentar lagi ia dipanggil oleh pembawa acara. Gajah Mada akan berdiri di atas mimbar di sebelah kiri panggung itu!” jawab Kyaine sambil menunjuk pojokan panggung.
Gung… gung… gung..! Terdengar bunyi gong ditabuh tiga kali dan diikuti oleh suara pembawa acara “Mahapatih Gajah Mada diperkenankan memasuki panggung kehormatan!”
Serius. Saya deg-degan.
Ah yang benar saja. Sosok yang berjalan cepat menuju panggung bukan sosok tinggi besar dengan wajah yang sangar, tetapi lelaki tinggi kurus dengan wajah dipenuhi senyuman ramah.
“Itulah sosok Gajah Mada yang sebenarnya, Kisanak!” kata Kyaine tanpa menoleh ke arah saya.
Lelaki kurus inikah yang telah menggoncangkan dunia dengan Sumpah Hamukti Palapa-nya yang terkenal itu? Lagi-lagi saya mencubit pipi dan lengan saya untuk meyakinkan diri kalau saya tidak sedang berhalusinasi.
Lelaki kurus dengan pakaian yang sederhana itu memberikan hormatnya kepada Prabu Hayamwuruk dan pejabat Majapahit lainnya. Ia membetulkan posisi berdirinya lalu berkata sangat lantang.
“Saudaraku semua, hari ini saya bersumpah sebagai Mahapatih Majapahit. Saya tidak akan mengganti warna pakaian saya dengan yang corak beragam sebelum Majapahit menguasai lautan dan samudera yang luasnya lebih dari dua pertiga wilayah kekuasaan Majapahit. Jalesveva Jayamahe!”
Saya semakin bingung, kenapa Sumpah Hamukti Palapa berubah redaksinya meskipun intisarinya sama bahwa Majapahit ingin berjaya di lautan? Konsentrasi saya buyar. Saya tak memerhatikan kalau Gajah Mada tengah mengumumkan susunan kabinetnya. Saya kembali menyimak kalimat yang keluar dari muluh Gajah Mada.
“Kemudian, untuk Katumenggungan yang mengurusi Kelautan dan Perikanan saya menunjuk Ratu Kalinyamat!” ujar Gajah Mada.
Terdengar tepuk tangan bergemuruh.
Belum selesai keheranan saya pada sosok Gajah Mada dan isi sumpahnya, kini ia menyebut Ratu Kalinyamat. Saya ber-ekawicara. Memang betul kalau Ratu Kalinyamat itu perempuan pelaut ulung, tetapi zamannya bukan di Majapahit. Ratu Kalinyamat hidup di zaman Kerajaan Demak, kira-kira seratus tahun kemudian setelah Gajah Mada membacakan sumpahnya.
Kyaine tersenyum kepada saya kemudian berkata, “Gajah Mada yang ini akan membawa Nusantara jaya kembali.”