Menakar cinta Jonggrang

Kompleks Candi Prambanan di rembang petang. Saya mencari sudut yang pas untuk mengabadikan candi yang elok tersebut dengan latar belakang langit semburat warna merah matahari kala senja. Cukup waktu bagi saya untuk sekedar ngider di sana, sebab malam harinya saya ingin menyaksikan pentas Sendratari Ramayana.

“Kamu-kah yang bernama Kyaine Guskar, Kisanak?”

Saya menoleh ke arah suara perempuan yang menyapa saya dengan lembut. Saya agak terkejut melihat penampakannya. Perempuan dengan dandanan puteri keraton.

“Jangan kaget, aku Roro Jonggrang.”

“O, maaf. Apakah aku melanggar pamali hingga kamu datang menemuiku?”

Belum sempat Jonggrang menjawab pertanyaan saya, kembali saya berkata, tepatnya bertanya kepadanya.

“Bagaimana kamu tahu namaku?”

Ia tersenyum manis sekali, kemudian ia mempersilakan saya duduk di hadapannya. Saya duduk di bebatuan di samping Candi Brahma.

“Aku suka sekali dengan cerita Jonggrang versi yang kamu bikin. Berulang kali aku membacanya, jika hatiku sedang rindu kepada Bandung Bondowoso.”

“Cerita Jonggrang yang mana, sih?

Saya belum paham ke mana arah pembicaraan Jonggrang. Dan saya mengingat-ingat cerita Jonggrang mana yang ia maksudkan.

“Cerita yang kamu tulis di The Padeblogan, judulnya Kegagalan Cinta Bandung Bondowoso dan Jonggrang. Tahukah kamu di mana Bandung Bondowoso sekarang ini?”

“Waduh, saya jadi tersanjung nih. Benar kamu mencintai Bondowoso?”

“Ah.. kamu belum menjawab pertanyaanku!”

“Bagaimana saya bisa tahu di mana Bondowoso berada?”

“Mestinya kamu tahu, Kyaine. Aku ingin kisah Cinta dan Rindu Milik Bondowoso dan Jonggrang menjadi nyata.”

“Bagaimana kalau ternyata Bondowoso telah menikah, akankah kamu ingin tetap menjadi istrinya?”

“Aku sih yakin, ia kini masih sendiri. Aku cinta sejatinya.”

Saya kesulitan menanggapi omongan Jonggrang. Mungkin betul apa yang dikatakan Jonggrang. Bondowoso dengan sekuat tenaganya membuktikan cintanya kepada Jonggrang dengan menyanggupi membikin seribu candi dalam semalam. Meskipun belakangan Jonggrang merekayasa datangnya pagi.

“Kyaine, kok kamu diam saja, sih?

“Wahai Jonggrang, menurut saya Bondowoso-mu itu telah membuktikan cintanya kepadamu. Ia telah berhasil mengejawantahkan cinta dengan perilaku nyata, yakni berupa tanggung jawab. Cinta sesungguhnya adalah konsep abstrak belaka.”

Saya terkejut dengan kata-kata yang melompat dari mulut saya ini. Dari mana saya mendapatkan ilham sehingga bertutur demikian.

Jonggrang terpana.

“Ketika Bondowoso menyatakan cintanya padamu, perilaku pertama yang ia perlihatkan adalah bertanggung jawab melindungimu, bukan?”

Jonggrang mengangguk. Mungkin ia ingat ketika Bondowoso meluluhlantakkan kerajaan ayahnya, Bondowoso menawarkan perlindungan kepadanya. Bondowoso tak memaksakan kehendak agar ia sudi menjadi istrinya.

“Bahkan ketika secara halus kamu menolak cintanya, ia tetap tak memaksakan kemauannya, bukan? Bahkan ia minta izin kepadamu merampungkan candi ke-seribu.”

“Justru itu yang aku sesali, Kyaine. Sampai kini aku masih mengharapkan kedatangannya, di kompleks candi ini.”

Saya diam untuk mengunyah kata-kata Jonggrang. Matanya menatap cakrawala senja.

“Sebentar lagi senja menabrak malam. Saat di mana Bondowoso mulai membangun seribu candi ini. Aku akan selalu setia menantinya di sini. Kyaine, jika dalam pengembaraanmu nanti bertemu dengan Bondowoso sampaikan salam rinduku kepada lelaki perkasa itu.”

Jonggrang gaib. Kemudian yang ada hanya sunyi.