Komunikasi Para Presiden Kita

Judul Buku: Dari Soekarno sampai SBY, Intrik & Lobi Politik Para Penguasa • Penulis: Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008 • Tebal: xxx + 396 hal

Begitu penting faktor komunikasi, keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, sesungguhnya ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung Tangerang Selatan, telah memaksa presiden dan wakil presiden yang sedang giat-giatnya berkampanye, untuk segera meluncur ke lokasi kejadian dan melakukan komunikasi dengan para korban. Rupanya, dalam tragedi tersebut ada sementara kalangan Caleg /Partai Politik yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu untuk mendapatkan simpati publik.

Melalui komunikasi, pemimpin membangun kepercayaan pada rakyat dan pengikutnya. Kepercayaan merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan yang diambil oleh pemimpin itu. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan besar kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur  masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kemimpinannya sekalipun. read more

Hareem, Sinetron yang Memprihatinkan

Inilah sinetron yang ceritanya “kacau-balau” seperti sinetron-sinetron lain yang setiap hari tayang di televisi negeri ini. Hareem, sinetron ini yang saya maksud. Seperti itukah kehidupan keluarga poligami?

Lihatlah, Kanjeng Doso yang mempunyai istri empat. Ah, kok menggunakan sebutan kanjeng ya, bukankan kanjeng itu sebutan untuk orang yang sangat terhormat dan bisa diteladani tingkah lakunya? Penampilan Doso, setiap hari mengenakan baju gamis, istri-istrinya berkerudung rapat. Tapi, tingkah laku dan sikap mereka jauh dari penampilan fisiknya itu. Doso kalau bicara berteriak (bahkan urat lehernya kelihatan dan sampai serak suaranya), gampang mengucapkan kata cerai, menampar, dan tindakan tidak terpuji lainnya. Lalu di antara para istrinya banyak intrik dan fitnah, berbuat keji dan perbuatan lain yang jauh dari nilai-nilai agama. Tidak heran, timbul protes di sana-sini dari para pemirsanya. Untuk meredam itu semua, produser sinetron menampilkan seorang ustadz untuk memberikan ulasan cerita sinteron, dan memberikan nasihat kepada para penonton, jangan meniru karakter tokoh sinetron. read more

Gamang hati prajurit Satpol PP

Apel pagi sebentar lagi dimulai. Aku dan teman-teman sudah berjajar rapi. Tidak henti-hentinya aku rapikan pakaian seragam kebanggaanku. Seragam personil Satuan Polisi Pamong Praja yang biasa disebut dengan Satpol PP.

Lihatlah penampilanku, gagah seperti polisi dan perkasa bagai tentara. Tugas utamaku adalah memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Aku tidak peduli dengan suara-suara sumbang tentang tingkah laku dan sepak terjangku dan teman-teman ketika menertibkan sesuatu. Aku hanya menjalankan tugas yang dibebankan di atas pundakku.

Jadi personil Satpol PP harus tebal telinga, tebal muka, dan tebal kulit. Cacian dan makian jadi santapan sehari-hari. Tidak jarang, aku harus siap berkelahi dengan masyarakat yang aku tertibkan.

Terdengar aba-aba siap, tanda apel sudah dimulai. Selesai laporan, komandan memberikan arahan apa yang harus kami lakukan hari ini.

“Seperti yang telah kalian ketahui, dua hari lagi kota kita akan mendapatkan kunjungan bapak presiden. Berdasarkan perintah bapak bupati, kota harus tertib dan bersih dari pengemis, bangunan liar dan pedagang kaki lima. Kemarin kita sudah membongkar bangunan liar di sekitar gerbang masuk kota kita. Hari ini, pembongkaran kita perluas sampai di tepi sungai, karena menurut rencana bapak presiden ingin menyaksikan proyek kali bersih yang dicanangkan bapak bupati beberapa waktu lalu. Kalian siap?”

“Siapppp!!!” jawab kami serentak.

Kami naik ke mobil patroli dan segera melaju ke wilayah yang akan ditertibkan. Aku duduk tegak di bak belakang, tanganku menggenggam sebatang tongkat dari bambu sebagai senjata andalanku. Deg, perasaanku mulai tidak enak ketika mobil berbelok ke arah wilayah perkampungan orang tuaku. Aku semakin gelisah saja, dari kejauhan aku melihat ada dua bulldozer sudah terparkir siap meratakan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai.

Aku melompat dari bak mobil, segera menghampiri teman-temanku yang sudah duluan sampai di tempat itu. Mereka sedang membentuk pagar betis untuk melindungi bulldozer yang akan dirusak oleh massa. Di antara kerumunan massa, aku melihat bapak dan ibuku ada di sana, ikut memprotes rencana penertiban rumah-rumah kumuh.

Hatiku miris menyaksikan perjuangan bapak dan ibuku mempertahankan rumahnya. Aku ingin segera berlalu dari tempat itu, tapi terlambat. Bapak sudah melihatku. Dia gandeng tangan ibu, tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Kamu tega pada orang tuamu sendiri? Kamu tahu kan, berapa uang yang bapak gunakan untuk menyuap komandanmu supaya kamu diterima jadi Satpol PP? Sampai sekarang bahkan belum lunas hutang bapak itu. Lakukan sesuatu. Bela harga diri bapak dan ibumu yang sudah tua ini!” bentak bapakku.

Aku tercekat, diam seribu bahasa. Bulldozer mulai mengamuk, meluluhlantakkan bangunan-bangunan semi permanen, termasuk rumah di mana tempat aku dilahirkan.

Apa yang harus aku lakukan, kawan?