Apel pagi sebentar lagi dimulai. Aku dan teman-teman sudah berjajar rapi. Tidak henti-hentinya aku rapikan pakaian seragam kebanggaanku. Seragam personil Satuan Polisi Pamong Praja yang biasa disebut dengan Satpol PP.
Lihatlah penampilanku, gagah seperti polisi dan perkasa bagai tentara. Tugas utamaku adalah memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Aku tidak peduli dengan suara-suara sumbang tentang tingkah laku dan sepak terjangku dan teman-teman ketika menertibkan sesuatu. Aku hanya menjalankan tugas yang dibebankan di atas pundakku.
Jadi personil Satpol PP harus tebal telinga, tebal muka, dan tebal kulit. Cacian dan makian jadi santapan sehari-hari. Tidak jarang, aku harus siap berkelahi dengan masyarakat yang aku tertibkan.
Terdengar aba-aba siap, tanda apel sudah dimulai. Selesai laporan, komandan memberikan arahan apa yang harus kami lakukan hari ini.
“Seperti yang telah kalian ketahui, dua hari lagi kota kita akan mendapatkan kunjungan bapak presiden. Berdasarkan perintah bapak bupati, kota harus tertib dan bersih dari pengemis, bangunan liar dan pedagang kaki lima. Kemarin kita sudah membongkar bangunan liar di sekitar gerbang masuk kota kita. Hari ini, pembongkaran kita perluas sampai di tepi sungai, karena menurut rencana bapak presiden ingin menyaksikan proyek kali bersih yang dicanangkan bapak bupati beberapa waktu lalu. Kalian siap?”
“Siapppp!!!” jawab kami serentak.
Kami naik ke mobil patroli dan segera melaju ke wilayah yang akan ditertibkan. Aku duduk tegak di bak belakang, tanganku menggenggam sebatang tongkat dari bambu sebagai senjata andalanku. Deg, perasaanku mulai tidak enak ketika mobil berbelok ke arah wilayah perkampungan orang tuaku. Aku semakin gelisah saja, dari kejauhan aku melihat ada dua bulldozer sudah terparkir siap meratakan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai.
Aku melompat dari bak mobil, segera menghampiri teman-temanku yang sudah duluan sampai di tempat itu. Mereka sedang membentuk pagar betis untuk melindungi bulldozer yang akan dirusak oleh massa. Di antara kerumunan massa, aku melihat bapak dan ibuku ada di sana, ikut memprotes rencana penertiban rumah-rumah kumuh.
Hatiku miris menyaksikan perjuangan bapak dan ibuku mempertahankan rumahnya. Aku ingin segera berlalu dari tempat itu, tapi terlambat. Bapak sudah melihatku. Dia gandeng tangan ibu, tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Kamu tega pada orang tuamu sendiri? Kamu tahu kan, berapa uang yang bapak gunakan untuk menyuap komandanmu supaya kamu diterima jadi Satpol PP? Sampai sekarang bahkan belum lunas hutang bapak itu. Lakukan sesuatu. Bela harga diri bapak dan ibumu yang sudah tua ini!” bentak bapakku.
Aku tercekat, diam seribu bahasa. Bulldozer mulai mengamuk, meluluhlantakkan bangunan-bangunan semi permanen, termasuk rumah di mana tempat aku dilahirkan.
Apa yang harus aku lakukan, kawan?