Senyum Membawa Luka

Tidak semua orang bisa tersenyum dengan tulus. Gerakan harus tersenyum akhir-akhir ini makin digalakkan pada sektor jasa/service. Sebut saja di SPBU. Betapa ramahnya para pelayanannya: membukakan tutup tangki BBM, berkata “dimulai dari nol ya pak”, dan bla..bla..bla…

Lain lagi di dept. store. Dari pintu masuk, senyuman selamat datang sudah menyambut pelanggan. Keluar dari dept. store – meskipun tidak bawa barang belanjaan, tetap disapa dengan ucapan terima kasih dan senyuman. Di rumah makan, di hotel, di toko buku, di mini market, semua memberikan senyuman kepada para pelanggannya.

Coba Anda amati, apakah senyuman mereka tulus? Atau para pemberi senyum itu sekedar menjalankan tugasnya saja, karena mereka dibayar untuk tersenyum? Meskipun demikian, saya sarankan balaslah senyuman mereka dengan senyuman Anda yang paling tulus.

Saya punya teman yang susah untuk bisa tersenyum. Sudah penampilannya acak-acakan, kalau berjalan tidak lihat kiri kanan, pokoknya tidak ada yang menarik dari penampilan dan gayanya. Suatu ketika, dia tertarik pada seorang wanita. Untuk merebut hati wanita itu, dia mencoba merombak total penampilannya. Rambutnya jadi klimis diolesi gel yang “hard“, baju dimasukkan ke celana, dari segi penampilan bisa dikatakan OK (tentu dibandingkan dengan penampilan dia sebelumnya). Tapi ada yang kurang, dia belum bisa tersenyum. Bisa jadi karena dia ini orang yang sangat serius, sampai lupa bagaimana cara tertawa, apalagi tersenyum. Banyak teman kantor yang menyangsikan kelanjutan asmaranya dengan wanita yang ditaksirnya itu.

Saya, yang belasan tahun bekerja di bidang pelayanan kepada pelanggan, ingin membantunya dengan menularkan ilmu senyum kepada teman saya yang satu ini. Pertama, dia saya minta untuk belajar tersenyum dengan metode 2-7-2 : bibir kanan-kiri ditarik 2 cm, bertahan selama 7 detik. Saya minta dilakukan dalam tiga hari, kalau bisa di depan cermin. Dia datang ke ruangan saya memamerkan senyumannya. Ah, saya lihat kok masih wagu (istilah yang pas dalam bahasa jawa artinya canggung, kikuk, tidak pas). Maklum baru tahap belajar. Selanjutnya, dia saya suruh mengucapkan selamat pagi kepada setiap orang yang ditemuinya, ketika baru masuk kantor, tentunya dengan disertai seulas senyum.

Hasilnya? Banyak kemajuan. Di satu sisi banyak teman yang merasa risih, setiap kali ketemu diberikan ucapan selamat pagi. Suatu ketika, saya ingin memberikan tambahan ilmu bagimana tersenyum yang tulus kepadanya. Saya titip pesan ke teman lain, supaya dia datang ke ruangan saya. Habis makan siang, saya berpapasan dengannya di depan toilet. Lho, wajahnya kok ruwet begitu dan berlalu tanpa bertegur sapa dengan saya.

“Hay mas… ada apa, kok kayaknya ruwet gitu,” saya mencoba ramah kepadanya.

“Wis, mulai sekarang nggak usah pake teori senyum-senyum lagi!” katanya dengan nada membentak.

Saya penasaran, cari informasi ke teman lain. Saya tersenyum mendengar penjelasan mereka. Ternyata, semalam dia ditolak cintanya oleh wanita yang ditaksirnya. Apa dia salah dalam tersenyum ya? Senyuman tulus belum diajarkan, jangan-jangan yang keluar malah senyuman mesum.

Dan sampai sekarang,  penampilannya kembali kepada keadaan semula.