Komunikasi Para Presiden Kita

Judul Buku: Dari Soekarno sampai SBY, Intrik & Lobi Politik Para Penguasa • Penulis: Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008 • Tebal: xxx + 396 hal

Begitu penting faktor komunikasi, keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, sesungguhnya ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung Tangerang Selatan, telah memaksa presiden dan wakil presiden yang sedang giat-giatnya berkampanye, untuk segera meluncur ke lokasi kejadian dan melakukan komunikasi dengan para korban. Rupanya, dalam tragedi tersebut ada sementara kalangan Caleg /Partai Politik yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu untuk mendapatkan simpati publik.

Melalui komunikasi, pemimpin membangun kepercayaan pada rakyat dan pengikutnya. Kepercayaan merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan yang diambil oleh pemimpin itu. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan besar kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur  masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kemimpinannya sekalipun.

Dari Soekarno sampai SBY adalah sebuah buku yang mencoba menguak komunikasi politik presiden Indonesia mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY. Berikut saya sadurkan bagian-bagian yang membuat saya tersenyum kecut, tertawa geli, setengah tidak percaya dan membuat kepala mengangguk-angguk.

Presiden Soekarno

Soekarno jelas seorang manusia yang dilahirkan sebagai “pemimpin besar”. Karakteristik pemimpin besar yang dimilikinya antara lain : tegas, berani, perseverance, teguh pada prinsip, bertanggung jawab, empati pada rakyat jelata dan konsisten, dalam arti tidak plin-plan. Soekarno juga seorang yang brilliant. Ia haus akan ilmu, masa mudanya dihabiskan dengan membaca buku-buku atau ajaran yang ditulis para pemikir/pemimpin besar seperti Karl Marx, Engels, Lenin, Sun Yat sen, Martin Luther, Mustafa Kamil, dan masih banyak lagi (hal 3).

Di mana pun ia berada, Soekarno  selalu berbicara dan berpidato penuh”pede”, tidak peduli siapa khalayak yang sedang dihadapinya ketika itu. Ciri khas Soekarno kalau berpidato tubuhnya tidak bisa diam, he swings fast seperti orang menari samba sambil mengacung-acungkan atau menunjuk-nunjuk tangan/jari telunjuk ke satu arah arau bertolak pinggang. Di atas panggung Soekarno seperti singa yang ganas. Ia bisa berpidato 3 sampai 4 jam nonstop dengan fisik tetap segar dan suara mantap. Dengan postur tubuh yang ganteng, ia menggebrak dan menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suaranya yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam, tanpa tedeng aling-aling.

Soekarno juga dikenal cepat dalam mengambil keputusan (hal 7). Acara coffee morning di belakang Istana Merdeka yang digelar hampir setiap pagi sering menjadi ajang pengambilan keputusan. Pada acara itu, Soekarno biasanya tampil dengan piyama dan sandal jepit, tanpa memakai kopiah. Berbagai pejabat, menteri dan kerabat hadir. Satu per satu urusan yang mereka bawa pun diselesaikan saat itu juga.

Tapi, banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pemimpin besar bangsa Indonesia ini paling takut pada dokter. Hal ini diceritakan oleh Prof. Dr. Djamaloeddin (alm) Kepala Bagian Bedah RSCM dalam biogrfainya (1994 : 65-68), suatu ketika ia mendapatkan kehormatan untuk melakukan operasi kecil pada kaki Soekarno. Begitu melihat jari kaki kiri Soekarno bengkak dan bernanah, Prof. Dr. Djamaloeddin memberitahukan Soekarno bahwa ia harus dioperasi. Soekarno terkejut dan langsung menolak. Namun setelah diberitahukan kalau bedah merupakan satu-satunya alternative untuk melenyapkan sumber sakit itu. Soekarno akhirnya bersedia juga, itu pun disertai dengan pertanyaan “Bagaimana Profesor mengerjakannya?”

“Saya cuma suntik sebentar dengan obat, lalu saya potong ujung jari kaki Bapak, mengeluarkan nanahnya dan selesai. Cuma sebentar!” jawab Djamaloeddin. Sore hari Djamaloeddin datang kembali ke Istana untuk mengoperasi Presiden. Ia kaget, sekaligus merasa geli, menyaksikan apa yang dilihatnya!

Presiden dikerumuni oleh sejumlah pembantunya yang segera saya kenali antara lain Wakil Perdana Menteri (WPM) Leimena, WPM Soebandrio dan Dr. Soeharto, dokter pribadi Presiden. Dokter ini baru saja menikah dengan seorang wanita muda. Pagi itu mereka berada di Puncak untuk honeymoon. Rupanya, Bung Karno meneleponnya untuk segera datang. Presiden melonjorkan kedua kakinya di sebuah kursi panjang. Leimena memegang tangan kanannya; Dr. Soebandrio tangan kirinya dan satu orang lagi memegang lututnya. Saya geli melihat pemandangan itu. Takut benar Bung Karno pada dokter!

Tapi, Bung Karno rupanya juga seorang humoris. Sebagai “imbalan” atas pengobatan yang telah diberikannya, Prof. Dr. Djamaloeddin dan tim medisnya disuruh naik helikopter berputar-putar kota Jakarta.

Soekarno juga dikenal sebagai seorang seniman. Ia suka sekali berpantun atau bersyair ketika menulis dan berpidato (hal 9). Selain itu, Soekarno senang mengulang-ulang isi pidatonya.

Ketegasan, keberanian, dan sikapnya yang teguh tentu sangat mempengaruhi komunikasi politik Soekarno. Enam hari setelah pecah tragedy berdarah G30S/PKI, tepatnya 6 Oktober 1965, di Istana Bogor berlangsung sidang kabinet. Sidang berlangsung hanya satu hari setelah para Jenderal AD korban pembantaian G30S/PKI dimakamkan di TMP Kalibata. Dalam sidang kabinet, Presiden antara lain menegaskan : “Jangan ragu-ragu dan khawatir saya dalam pengaruh Dewan Revolusi. Saya tidak akan tunduk padanya. Ben je get dat ik mijn kabinet laat demisioneren (gila, aku membiarkan kabinetku didemisionerkan)… Geharewar (Ingar-hingar) ini supaya ditenangkan dulu, baru kemudian diadakan politieke opplossing (pemecahan politik). Saya akan tetap menjalankan politik bersama kalian dengan kabinet  ini. Kepentingan pokok saya adalah kelangsungan Republik dan Revolusi. Saya minta agar menteri berpikir seperti Presiden”. (hal 28)

Soekarno juga dikenal karena temperamennya yang meledak-ledak. Dan jika ia sedang marah, semua orang takut. Pada suatu hari di Jakarta, Soekarno memanggil mangil Martowidjojo. Setelah menghadap Kepala Negara, Mangil diperintahkan untuk mengumpulkan seluruh anak buahnya. Perintah segera dilaksanakan. Mereka – Mangil  dan 7 anggota DKP, Detasemen Kawal Pribadi – berdiri tegak, berjejer. Mangil paling kanan. Ketika Soekarno memasuki ruangan, ia langsung mendekati Mangil. Mukanya hampir beradu dengan muka Mangil. Secara mengejutkan tiba-tiba Soekarno menempeleng wajah Mangil dengan tangan kanannya. Semua yang hadir terkejut bukan main. Setelah itu, satu per satu anak buah Mangil pun ditempeleng pipinya. Selesai acara pemberian “hadiah tempeleng” ini Mangil memberanikan diri berucap : “Saya mohon Bapak sabar dulu …” Namun, belum selesai Mangil mengucapkan kalimatnya, Soekarno memotong dan menghardiknya :”Diam!”

Rupanya, Soekarno memperoleh informasi yang keliru tentang para pengawal yang tergabung dalam DKP sehingga ia berlaku begitu geram terhadap Mangil dan anak buahnya. Menurut cerita Mangil, tidak lama kemudian Presiden memanggilnya dan secara spontan meminta maaf atas tindakannya, “Mangil, kau mau tidak memaafkan Bapak? Bapak maaf kepada anak buahmu. Ternyata, bapak berbuat salah terhadap anak buahmu..” Setelah itu – setelah Mangil menjawab :”Tidak apa-apa, Pak” – Soekarno merangkul pengawalnya yang amat setia itu.

Presiden Soeharto

“Pak Harto itu, bahasa tubuhnya dan bahasa kata-katanya padat. Kalau ketemu dia, dirasakan sekali kepadatan dari wibawanya dan kata-katanya. Suaranya tidak keras, cukup lembut, tapi bobotnya terasa. Karena personifikasi orangnya didukung dengan pengalaman lebih dari 25 tahun memerintah sebagai Presiden sehingga orang merasakan wibawanya memancar. Jadi, kata-katanya boleh dikatakan minimal,” begitu pendapat Prof. Yuwono Sudarsono tentang pola komunikasi Presiden Soeharto.

Mengenai bahasa isyarat, Prof. Dr. Muladi juga mempunyai pandangan serupa. “Kalau Pak harto tidak suka, dia tidak berkomentar. Dan ada bahasa-bahasa isyarat yang harus kita tahu sendiri bahwa Pak Harto tidak berkenan”. Muladi memberikan contoh ketika ia bersama beberapa anggota Komnas HAM menghadap Presiden, antara lain untuk mengusulkan pencabutan UU anti-Subversi sebab UU ini menimbulkan masalah-masalah nasional dan internasional. Apa jawab Presiden? “Wah, itu nanti sajalah. Kita bicarakan nanti saja karena saat ini masih kita perlukan”

Jawaban demikian singkat, menurut Muladi, pertanda bahwa Pak harto tidak berkenan dengan gagasan pencabutan UU anti-Subversi. Muladi atau menteri mana pun dalam era Orde Baru, dalam situasi demikian menyadari bahwa sementara “the case is closed“. Tidak ada satu menteri pun yang berani mendesak Presiden (hal 52).

Komunikasi politik Soeharto bisa dikatakan tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai dengan kebiasaan pak Harto untuk melihat segala sesuatu “tertib, aman dan terkendali.” Dalam sidang kabinet, berlangsung tertib, teratur dan singkat. Presiden memasuki ruang sidang. Seluruh menteri yang sudah hadir – termasuk Wapres – pun berdiri sambil memberikan hormat. Presiden kemudian duduk, dibantu oleh ajudan. Sang ajudan memberikan kaca mata dan sebuah map serta buku harian kepada kepala Negara. Soeharto memakai kaca mata, lalu menandatangani daftar hadir yang sudah diisi lengkap oleh seluruh menteri dan Wapres yang hadir.

Setelah membuka siding dengan sambutan singkat, presiden mempersilakan menteri menanggapinya atau memberikan laporan. Menteri mana yang berbicara, biasanya sudah diatur dahulu oleh Menteri/Sekretaris Negara. Tiga atau maksimal empat menteri yang berbicara. Tidak ada dialog. Sidang kabinet berlangsung cepat, antara 1 sampai 2 jam. Yang dominan berbicara selama siding, menurut Juwono Sudarsono maupun Hendropriyono, adalah Presiden. “Kita semua enggak berani omong!” kata Muladi (hal 53).

Semua orang tahu jika Pak Harto tersenyum, itu adalah sikap dan “pembawaan” kesehariannya. Setiap pembantu Soeharto pasti tahu bahwa Soeharto lebih sering berkomunikasi dengan bahasa isyarat dari pada lisan. Salah satu bahasa isyarat dimaksud adalah senyum atau tawa. Sujono Sosrodarsono, Menteri PU pada Kabinet Pembangunan IV, dengan tegas mengemukakan bahwa jika Soeharto diam atau bergumam “ehm, ehm, ehm”, itu berarti ia tidak setuju. Sebaliknya, jika setuju dengan apa yang dikatakan pembantunya, Soeharto akan berkata langsung, “Ya, begini, begini, begini” atau “Oh ya, he eh, ya,ya.” Suatu ketika, cerita Sujono, seorang  pembantu dekat Soeharto datang untuk melapor. Ternyata, presiden membisu ketika pembantunya berbicara, bahkan kemudian meninggalkannya begitu saja di ruang kerjanya. Jelas, itu berarti Soeharto saat itu tidak senang dengan pejabat yang bersangkutan.

Bagaimana sikap Soeharto terhadap kritik? Soeharto mengajukan empat syarat agar kritik itu masuk dalam kategori “baik”, dalam arti tidak usah dirisaukan. Pertama, kritik yang disampaikan haruslah bermutu. Kedua, tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, tidak mengganggu kepentingan masyarakat banyak. Keempat, tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila. Kecuali itu, kepala Negara memberikan satu catatan lagi, yaitu informasi yang disajikan pers haruslah benar dan sekaligus mendukung pelaksanaan pembangunan. Tentu saja 4 syarat dan 1 catatan yang diberikan Soeharto itu tidak mudah dilaksanakan oleh pers, bahkan amat sulit (hal 71).

Tentu, sebagai manusia Pak Harto juga bisa marah. Tetapi tetap saja Soeharto bisa menguasai perasaannya. “Jika wajah Pak Harto merah dan kemudian diam, itu pertanda ia marah,” kata Tuk Setoyadi, mantan Sesdalobang.

Namun di balik pancaran muka Soeharto yang tenang sesungguhnya bertahta sifat pendendam dan gampang “digosok” oleh orang-orang kepercayaannya (hal 110).

Presiden BJ Habibie

Habibie adalah seorang extrovert. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Semua orang terkejut, terutama Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur : tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka. Biang keladi dari keputusan besar ini adalah sepucuk surat Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard, yang ditujukan kepada Habibie pada Desember 1998. Menurut  penuturan Juwono Soedarsono, Habibie marah membaca isi surat Howard yang meminta Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur untuk menyatakan penentuan nasib sendiri. Habibie merasa surat itu seperti  tantangan sekaligus kritik terhadap Pemerintah Indonesia. “Karena Habibie mempunyai tabiat tidak mau kalah dengan siapa pun maka tantangan itu pun secara spontan dijawab.”

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999, kebijakan pemberian opsi ini dipertanyakan oleh Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. “Kalau plebisit kalah, bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Ini kan nanti akan terjadi eksodus, eksodus dari para transmigran yang sudah 25 tahun di sana. Siapa yang bertanggung jawab?” cecar Hendropriyono. Habibie dengan sigap menjawab, “Saya bertanggung jawab.”  Fahmi Idris, Menteri Tenaga kerja kala itu, segera menimpali, “Tanggung jawab apa,  Presiden?”  Wajah Habibie tampak merah. Seorang menteri dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lantas menengahi situasi panas ini : “Kita for nothing mempertahankan Timtim. Buat apa? Enggak ada gunanya!!” (hal 154).

Meski sekian lama menjadi bagian dari  masa Pemerintahan Soeharto dan menganggap Soeharto adalah guru sekaligus bapaknya, gaya kepemimpinan Habibie jauh bertolak belakang dengan orang yang dihormatinya itu. Muladi, mantan Menteri Kehakiman di era Orde Baru, menuturkan, sidang kabinet yang dipimpin Soeharto selalu berlangsung dalam suasana mencekam. Para menteri takut angkat tangan mengajukan diri untuk bicara. Sementara itu, di zaman Habibie, para menteri justru berebut mengacungkan jari. Muladi menggambarkan, susana sidang kabinet seperti sebuah seminar : riuh, panas, kadang gebrak-gebrak meja seperti mau berkelahi. Habibie sendiri yang merangsang suasana seperti itu karena dia memang senang berdebat. Semakin didebat, ia semakin bersemangat untuk berbicara, menangkis adan melawan sebab Habibie tidak mau kalah. Karena semua menteri boleh bicara dan perdebatan dibuka seluas-luasnya sebelum diambil keputusan, sidang kabinet bisa berlangsung sampai larut malam. Tapi usai rapat, Presiden dan menteri adakalanya berangkulan. Tidak ada hard feeling, tidak ada dendam apa pun (hal 155).

BJ Habibie adalah sosok yang sangat temperamental. Ia cepat emosi, cepat marah, apalagi kalu diajak berdebat. Salah satu penyebab Habibie sering ngotot dalam berdebat dan bertindak emosional adalah persepsinya sebagai “orang pintar”, walaupun semua orang mengakui bahwa Habibie memang pintar. Habibie kadang mengebrak meja untuk melampiaskan amarahnya. “Anehnya, tidak ada satu pun menterinya yang takut,” kata Hendropriyono.

Di sisi lain, Habibie sering terjebak dalam “komunikasi topeng”. Kasus paling gambling yang melatarbelakangi komunikasi topeng ini adalah dugaan KKN Soeharto. Sejak diambil sumpahnya sebagai Presiden RI Habibie terus didesak oleh elemen-elemen masyarakat untuk segera mengusut dugaan korupsi Soeharto dan kroninya. Habibie tidak pernah memberikan respons yang tegas atas desakan ini (hal 173).

Presiden Abdurrahman Wahid

Menurut Mohamad Sobari, Gus Dur bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja. Ia tidak mencurigai siapa pun, termasuk orang yang baru dikenalnya. Lebih dari tidak curiga, Gus Dur juga bisa diajak berbicara secara mendalam tentang banyak hal, termasuk yang bersifat pribadi. Sepertinya ia tidak mempunyai rahasia kepada orang yang baru dikenalnya sekali pun. Akibatnya, kata Sobari, orang Barat pun mungkin heran kenapa hal-hal pribadi bisa dibicarakan apa adanya.

Masih menurut cerita Sobari. Beberapa wartawan sebuah majalah wanita suatu hari mewawancarai Gus Dur di kantor PB NU Jl. Kramat Raya Jakpus. Mereka bertanya : “Pak Gus Dur (ini menjelang pergantian tahun), nanti di tahun 1994, peran perempuan kira-kira bagaimana ya?” Gus Dur serius mendengarkan pertanyaan ini, lalu menjawab : “Gini, Anda memandangnya bagaimana di tahun 1993?” Mereka menjawab : “Pak Gus Dur, di tahun 1993 peran perempuan masih sangat dibatasi oleh macam-macam kendala kultural, psikologis, dan sebagainya. Jadi, masih tetap tersubordinasi oleh peran kaum laki-laki.”

Lalu jawab Gus Dur? “Tahun 1994 itu sebaliknya…” Setelah wartawan tersebut meminta foto bersama Gus Dur, mereka pun pulang. Setelah itu, Sobari bertanya : “Gus, sampeyan kok enak saja, jawab pertanyaan perempuan tahun 1994 Cuma kebalikan dari tahun 1993. Apa dasarnya?’

“Halaa, orang gendeng saja kok dijawab serius. Untuk apa?! Orang nanya kok enggak pakai pikir. Gimana gue disuruh serius?”.

 Gus Dur adalah Presiden Indonesia keempat. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya 21 bulan (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Ia dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipimpin Amien Rais dan digantikan Megawati Soekarnoputri. Meski rentang kepemimpinannya paling singkat dalam sejarah Indonesia, sepak terjangnya banyak menuai kontroversi. Manuver-manuvernya sulit dipahami. Gayanya yang ceplas-ceplos menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Gus Dur tidak bisa memisahkan statusnya sebagai kiai dan Presiden Republik Indonesia. Statusnya sebagai kiai bahkan kerap lebih menonjol daripada sebagai Kepala Negara. Akibatnya, komunikasi politik Gus Dur kacau. Sebagai kiai Gus Dur adalah sosok yang terbuka terhadap siapa saja, termasuk terbuka terhadap segala informasi yang dibisikkan kepadanya. Celakanya, Gus Dur sering percaya begitu saja pada bisik-bisik orang tanpa pernah lagi mengeceknya. Gara-gara bisik-bisik ini pula ada orang kehilangan kesempatan  emasnya berkarier di luar negeri. Laksamana Sukardi, kala itu Menteri Negara BUMN, menuturkan suatu kali dipanggil Gus Dur ke istana. Gus Dur menyampaikan, ada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan reputasi sangat baik. Ia masih muda dan pintar. Gus Dur ingin Laksamana mencarikan posisi untuk orang itu. “Dia pintar sekali. Lalu dia mau ditarik ke New York. Kan sayang kalau ada anak muda yang pintar, masak kerja di luar negeri. Tolong, deh,” ucap Gus Dur seperti ditirukan Laksamana. Tak lama setelah hari itu, Laksamana kembali menghadap Gus Dur. Ada posisi lowong sebagai Direksi Indosat. “Gus, ingat enggak ini orang, anak muda yang tempo hari Gus titipkan kepada saya? Dia lebih cocok di Indosat Gus,” kata Laksamana. Gus Dur rupanya sudah lupa. Setelah berpikir agak lama, tiba-tiba ia menjawab lantang, “Enggak bisa itu orang!” “Lho, kenapa, Gus?” Laksamana terperanjat. “Dia  bawa lari istri orang.”

Laksamana kaget setengah mati. Pasalnya, ia sudah menyuruh orang itu keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, bahkan diminta secepatnya keluar karena ada perintah Presiden. Orang itu pun sudah ada di Indonesia. Laksamana kemudian meminta orang itu menghadap ke kantornya. “Mas, kok Gus Dur bilang kamu bawa lari istri orang?” tanya Laksamana.

“Demi Allah Pak! Saya masih dengan istri saya yang sekarang,” jawab orang itu. Usut punya usut, ternyata Gus Dur mendapat bisikan dari orang tertentu tentang anak muda ini. Dan, faktanya bisikan itu tidak benar. Anak muda bergelar PhD ini akhirnya bekerja di sebuah bank swasta. Laksamana merasa kasihan. Bagaimana tidak! Kariernya di perusahaan luar negeri itu sudah bagus, tapi gara-gara seorang pembisik nasibnya jadi kacau balau (hal 207).

Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang emosional. Bila marah, ia bisa menggebrak  meja dan kata-kata keras meluncur dari mulutnya. Salah seorang mantan menteri yang tidak bersedia disebutkan namanya menuturkan, ia pernah dimarahi habis-habisan. Ceritanya begini, ada seorang kerabat Gus Dur duduk dalam pemerintahan. Sebut saja namanya XZ. Gus Dur sebenarnya tidak pernah mengangkat XZ. Namun, seorang pimpinan salah satu instansi pemerintah mengangkat XZ sebagai pejabat eselon 1. Mungkin, orang itu berpikir dengan mengangkat kerabat Gus Dur kariernya akan jadi lebih baik mengingat kedekatan XZ dengan Gus Dur. Namun, sebagai pejabat eselon 1, XZ diketahui kerap “memeras” sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Para pengusaha ini mendapat semacam “bantuan”, tapi dengan imbalan yang sangat besar. Sang menteri tersebut, sebut saja AB, melaporkan perilaku XZ kepada Gus Dur. Gus Dur marah. AB dicaci maki Gus Dur karena Gus Dur tidak memercayai laporan AB. Beberapa hari kemudian, AB dipanggil Gus Dur ke istana.

 Pertemuan empat mata. Begitu masuk ke ruang kerja Gus Dur, AB melihat Gus Dur menangis meraung-raung. Ia tampak dilanda kesedihan luar biasa. Lama Gus Dur tidak bisa bicara, hanya menangis dan menangis. AB bingung, tidak tahu apa yang sedang dialami Gus Dur. Ia berusaha menenangkan Gus Dur. “Gus, tenang, Gus. Tenang, Gus! Ada masalah apa?” ucapnya sambil mengusapi dan memijat-mijat tangan Gus Dur. Sesaat kemudian, Gus Dur berusaha menguasai dirinya, sebelum akhirnya membuka suara. Intinya, ia mengakui kebenaran informasi tentang perilaku XZ yang pernah disampaikan AB. “Saya malu! Sangat malu! Ternyata, apa yang kamu laporkan kepada saya memang benar semua! Kurang ajar dia!” ujar Gus Dur. Sejak saat itu dan selama setahun lebih, Gus Dur tidak pernah menyapa XZ (hal 225).

Bagaimana pola tidur Gus Dur?

Gus Dur adalah seorang pemimpin yang sangat informal. Kalau ada hal-hal strategis, seorang menteri bisa melapor langsung. Rizal Ramli misalnya, mengaku kadang diterima presiden jam setengah lima pagi. Ya, jam setengah lima pagi! “Terus terang kadang-kadang saya masih sangat ngantuk, karena saya tipe orang malam, tipe yang tidur jam 2 pagi, begitu… Sementara Gus Dur paling segar pagi-pagi.” Tidak heran, acap pertemuan antara presiden dan menteri di Istana pagi-pagi sekali. Pada pagi hari, Gus Dur dalam keadaan prime time-nya sangat fresh. Responsnya pun cepat, memberikan pengarahan dan lain sebagainya.

Namun, setelah pukul 10 pagi, stamina Gus Dur mulai menurun dan cepat ngantuk. Ia akan segar lagi, biasanya setelah jam 2 siang hingga malam, bahkan sampai jam 12 malam, kalau perlu jam 1 malam. Diinformasikan juga Gus Dur sering tidur waktu menghadiri acara-acara resmi atau memimpin siding kabinet. Kenapa? Ya itu tadi. Setelah jam 10 pagi, Gus Dur memang mulai lelah dan ngantuk. Padahal siding kabinet biasanya dimulai jam 10 pagi.

Masih tentang urusan ngantuknya Presiden Gus Dur. Suatu ketika, Laksamana Sukardi ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ke Eropa dan Asia. Jadwal Presiden sangat ketat sehingga membuatnya teler. Para anggota rombongan pun kelelahan luar biasa. Di Seoul, Gus Dur menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Korea. Kedua pemimpin negara duduk berdampingan. Perdana Menteri Korea berbicara kalimat demi kalimat yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Rupanya, karena sangat lelah dan tidak menarik mendengarkan terjemahan, Gus Dur tertidur. Pada salah satu bagian, PM Korea berujar, “Mr President, we have an excelent nuclear technology for power plant. If you are interested, we would be happy to have it for you.”  (Tuan Presiden, kami memiliki teknologi nuklir yang canggih untuk pembangkit tenaga. Kalau Anda berminat, kami bisa mengusahakannya untuk Anda). Pemerintah Korea menawarkan bantuan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik Indonesia. Saat itu, Gus Dur tidur pulas sekali. Selesai pernyataan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, PM Korea menoleh ke arah Gus Dur menunggu jawaban. Namun, tidak ada jawaban. Laksamana cepat-cepat membangunkan Gus Dur. “Gus…. Gus… bangun! Gus… dia tanya apakah kita interested dengan power plant technology yang dia punya.” Gus Dur karena baru terbangun dari tidurnya dan belum berkonsentrasi langsung nyeplos, “My Minister ask about your nuclear technology!” (Menteri saya bertanya tentang teknologi nuklir yang Anda miliki). “Ha… ha..ha… ha ..!” Laksamana geli bercampur malu. Anggota rombongan pun tersipu-sipu, tidak berani melihat wajah PM Korea. Tentu saja, yang paling terkejut adalah PM Korea itu sendiri (hal 239).

Presiden Megawati Soekarno Putri

Bagaimana pola komunikasi Mega? Laksamana Sukardi mengatakan, Ibu Mega termasuk pemimpin yang tidak memahami masalah. Mungkin kalau masalah intelijen atau keamanan ia cukup tahu, tapi kalau masalah ekonomi ia sangat kurang (hal 243).

Presiden Indonesia kelima ini bisa disebut sebagai  Presiden Indonesia paling pendiam. Putri Bung Karno ini sepertinya seorang pengikut fanatik pepatah kuno “Silence is Gold“. Namun, diamnya Megawati sering kali kelewatan. Ia tetap tak bersuara, bahkan ketika negeri ini membutuhkan kejelasan sikapnya. Sampai-sampai (alm) Roeslan Abdulgani, tokoh pejuang 45, berseru, “Megawati bicaralah sebagai Presiden!”

Sikap Megawati yang lain adalah enggak mau repot. Ini juga tercermin dari lamanya ia menyelesaikan surat-surat penting yang disodorkan oleh Sekretariat Negara. Sejumlah pejabat penting si Sekretariat Negara, tampaknya mengetahui persis hal ini. “Kalau dibandingkan dengan Pak Harto, 10 surat masuk, besoknya 10 surat keluar. Kalau Ibu, 10 masuk, tunggu berhar-hari, yang keluar cuma dua. Entar masuk lagi 10. Akhirnya, makin numpuk ..! (hal 262).

Mengapa Megawati lebih banyak diam? Dalam buku ini dikisahkan, pada suatu hari, saat masih menjabat sebagai Presiden, Megawati Soekarnoputri tampak tengah berbincang lama sekali dengan seorang menterinya di kediaman resminya, di  Jl. Teuku Umar, Jakarta. Sementara perbincangan berlangsung, seorang pembantu dekatnya yang lain menunggu dengan gelisah. Pasalnya, ia sudah menunggu lama lewat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu. Seusai pembicaraan Megawati dengan menterinya, pembantu ini bertanya kepada si Menteri. “Lama amat sih kamu ngobrol-nya. Apa saja sih yang dibahas?”

“Enggak ada Mas. Kami ngobrol hal-hal lain yang enggak ada kaitannya dengan negara!” jawab sang menteri sambil tertawa lebar (hal 272).

Masih di halaman yang sama, jika Mega berdiskusi dengan pembantunya, yang dibicarakan lebih sering bukan soal-soal negara dan bangsa, tapi soal-soal ringan seperti masakan, tanaman dan shopping… Pembicaraan dengan topik itu bisa membuat diskusi dengan Megawati berlangsung lama. Namun, jika sudah menyentuh soal pekerjaan atau negara, daya fokusnya sangat terbatas. Konsentrasinya kurang cukup untuk terus-menerus fokus ke permasalahan. Hal ini menimbulkan kesan Megawati orang yang tidak mau repot dalam mengurus negara.

Mantan pentinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini hengkang dan mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB Janis, menuturkan dalam ini, dalam sidang kabinet, Megawati biasanya lebih banyak diam. Kalaupun angkat suara fungsinya hanya sebagai pengatur lalu lintas. Kalau ada dua menteri saling berdebat di sidang kabinet, Megawati hanya menonton, jarang memberikan pendapatnya sendiri atau menengahi keduanya meski perdebatan sudah berada pada tingkat “panas”.

Ada  kisah  menarik tentang diamnya Megawati. Menjelang tutup tahun 2002 aksi-aksi unjuk rasa anti-pemerintah, terutama dilancarkan mahasiswa, menunjukkan eskalasi yang tinggi. Aksi ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Di tengah ingar-bingar unjuk rasa itu, beredarlah rumor yang menyebutkan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengompori rangkaian unjuk rasa itu.

Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab atas stabilitas pemerintah, Hendropriyono (Kepala BIN), Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopolkam), dan Da’i Bachtiar (Kapolri), rupanya terus memeras otak untuk mencari tahu siapa dalang aksi-aksi ini. Lantas, dalam rapat kabinet tanggal 20 Januari 2003, muncul empat nama yang disebut-sebut sebagai pihak yang berada di belakang aksi unjuk rasa. Mereka adalah Jenderal Wiranto, Fuad Bawazier, Adi Sasono, dan Eros Djarot. Tentang Fuad Bawazier, memang diketahui lama  adalah mitra bisnis Rini Suwandi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Megawati. Kemitraan mereka terjadi jauh sebelum Rini menjadi menteri.

Suatu hari bertemulah Hendropriyono dan Rini Suwandi di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar. Hendro menegur keras Rini soal sepak terjang Fuad. Kata-kata Hendro meluncur tanpa tedeng aling-aling. Teguran itu begitu menyakitkan Rini hingga ia menangis sambil memeluk Megawati.  Apa reaksi Presiden? Megawati hanya tersenyum menyaksikan adegan perang mulut antara dua pembantu dekatnya (hal 276).

Adik Megawati, Rachmawati termasuk orang yang pernah mengingatkan para politisi termasuk sejumlah jenderal di Mabes TNI, bahwa Megawati bukanlah orang yang mampu memimpin bangsa Indonesia. “Sebagai adiknya, saya tahu persis kapasitas dia!”

Semua orang mafhum, hingga detik ini Megawati emoh bertemu dengan SBY, Presiden berkuasa yang notabene adalah mantan pembantunya di kabinet. Dalam upacara kenegaraan memperingati Ulang Tahun  kemerdekaan Indonesia Ke-63, 17 Agustus, tahun ini, Megawati tidak hadir. Ketidakhadirannya diyakini karena faktor SBY sebagai  Presiden.

Di mata Megawati, SBY tidak lebih seorang pengkhianat, bahkan seorang “Brutus” yang sadis (hal 303). Ini semua karena sikap “diam-diam” SBY yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2004. SBY dinilai tidak jantan. Beberapa kali Megawati bertanya kepada SBY apakah akan maju dalam Pemilu 2004. Dengan diplomatis SBY menjawab, “Belum memikirkan soal itu, Bu. Saya masih konsentrasi dengan tugas selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.” (hal 288). Namun, Megawati dan kubunya menaruh kecurigaan besar terhadap SBY dan timnya. Perseteruan di balik selimut pun terjadi. Terungkap ke publik bahwa Megawati mengucilkan SBY dari sidang-sidang kabinet. Sikap Megawati ini menguntungkan SBY karena dengan itu SBY tampil di media sebagai korban kezaliman Megawati. Pada 12 Maret 2004 SBY mengirimkan surat pengunduran diri dari kabinet. Dua hari kemudian ia terbang ke Banyuwangi,  berkampanye untuk Partai Demokrat. Pada putaran kedua Pemilu 2004 SBY menang gemilang dalam pemungutan suara. Megawati sedih dan menangis.

Semua orang tahu, saat pelantikan SBY di Gedung MPR pada 20 Oktober 2004 Megawati tidak hadir, padahal banyak orang dekat membujuknya datang. Semua orang juga tahu, pagi itu Megawati bahkan tidak duduk di depan pesawat televisinya, tapi sibuk berkebun. Menurut penuturan Roy BB Janis, kegusaran dan kebencian Megawati diartikulasikan dalam rapat DPP PDI-P. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Namun, kalau ini (SBY) saya enggak bisa karena dia menikam saya dari belakang,” begitu kata Megawati  (hal 289).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Tjipta menilai, SBY adalah sosok yang perfeksionis. Ia selalu tampil rapi dengan tutur kata yang tertata. SBY pasti sadar bahwa ia seorang pria yang dikaruniai Tuhan dengan wajah cukup ganteng, dan ia betul-betul memanfaatkan ketampanannya setiap kali tampil di depan pers. Seolah kegantengannya dan penampilannya yang dandy merupakan daya tarik tersendiri yang harus selalu ‘dijual’ kepada publik setiap kali ia tampil. Pakaian yang dikenakan, apakah berupa setelan jas atau batik, selalu berkualitas nomor  1 dengan warna, motif, dan ukuran mantap, mencerminkan seleranya berbusana yang tinggi. Ketika itu ia mungkin lebih pas diberikan predikat sebagai “foto model” atau “actor” dari pada seorang  “kepala Negara”.

Sebagai seorang perfeksionis, SBY selalu berbicara hati-hati. Bahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat. Bak anak SD yang sedang belajar membaca : setiap kata dilafalkan perlahan-lahan (hal 315).

SBY, oleh Muladi digambarkan sebagai pemimpin yang sangat peka terhadap kritik. “Jika dikritik, SBY selalu reaktif, tidak bisa diam. Tangkisannya terhadap kritik bahkan sering kali over, berlebihan. Tidak jarang untuk meng-counter kritik atas dirinya dan kepemimpinannya, ia secara khusus menggelar jumpa pers di Istana” ucap Muladi.

Sayang, tidak banyak hal yang tersembunyi yang terungkap dalam analisis terhadap gaya komunikasi politik SBY. Buku ini banyak menggunakan contoh dari pemberitaan di media massa. Mungkin para pembantunya belum ada yang berani bicara terbuka karena Bapak Presiden masih berkuasa.

Dari sudut watak, SBY memang “dari sononya” suka ragu, bimbang, dan ekstra hati-hati. Ia cerdas, termasuk “kutu buku”. Bukan rahasia lagi, ketika mengikuti pendidikan di AKABRI, ia lebih suka membaca buku di kamar ketika senggang, sementara sebagian besar kawannya keluyuran mencari kesenangan (hal 364).

Dari keenam presiden, komunikasi politik siapa yang paling efektif?