Pensiun dini

Tahun 2000-an lalu saya mengikuti seminar James Gwee yang materinya mengenai Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki. Seingat saya, konsep Cashflow Quadrant tersebut digambarkan dalam sebuah diagram terbagi atas dua garis vertikal dan horisontal sehingga menjadi empat kelompok kuadran, yaitu E: Employee – ia bekerja untuk orang lain, S: Self-employed – ia memiliki keahlian setingkat di atas employee contohnya dokter, pengacara, atawa akuntan,  B: Boss, sebagai pemilik bisnis  – ia memiliki sebuah sistem untuk mendapatkan uang, dan I: Investor – ia menginvestasikan uangnya pada suatu bidang yang menghasilkan pemasukan lebih besar.

Biasanya, dalam mengikuti suatu seminar atawa pelatihan ada yang meletup-letup dari dalam hati: timbul semangat baru. Pun setelah mengikuti seminar Cashflow Quadrant tersebut. Waktu itu, saya pun mulai berhitung kapan akan melompat dari kuadran E menjadi kuadran B? Saya tetapkan di umur 48 nanti saya akan ambil pensiun dini, untuk mengubah diri dari karyawan menjadi seorang boss!

Namun, dalam perkembangannya ternyata saya sama sekali nggak melakukan apa pun untuk persiapan melompat dari E ke B. Terlalu sibuk menjadi karyawan yang saban hari kudu siap dimarahi oleh boss. Bukankah karyawan digaji untuk dimarahi? Seorang kawan berseloroh, dari 90% gaji kita memang untuk dimarahi. Ha…ha…ha…

~oOo~

Bulan ini, setidaknya saya dikejutkan oleh dua orang kawan saya yang mengambil langkah pensiun dini. Kawan pertama bekerja pada sebuah perusahaan besar yang di dalam peraturan perusahaannya memang mengatur perkara pensiun dini ini, yaitu karyawan yang sudah berusia 45 tahun dan bekerja minimal 10 tahun boleh mengajukan pensiun dini. Kawan saya ini usianya 46 tahun dan sudah bekerja selama 19 tahun.

Terus, setelah pensiun ia mau ngapain? Ia akan menekuni bisnis telur secara penuh-waktu, di mana bisnis ini  telah ia rintis berapa tahun belakangan. Ia berani mengambil pensiun dini karena penghasilan sebulan dari bisnis telurnya sudah melebihi jumlah gaji yang ia terima sebagai karyawan. read more

Ical

Sebagai seorang pensiunan, kegiatan Mbah kakung saya beternak ayam dan merawat pohon cengkeh yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh batang. Suatu hari saya dimintanya membeli pakan ternak dan dua macam obat di sebuah poultry shop. Mbah Kakung memberikan saya catatan nama obat dan selembar uang. Karena jaraknya jauh, saya mengendarai sepeda jengki milik Mbah Kakung, sementara kertas catatan dan uang saya masukkan celana pendek saya.

Olala, sampai di Omega Poultry Shop – nama toko pakan ternak dan obat-obatan berbau bahasa Inggris ini letaknya di tetangga desa – saya merogoh seluruh kantong celana pendek untuk mendapatkan uang dan catatan Mbah Kakung. Tidak ketemu. Mas Rasidi – owner Omega Poultry Shop, cuma terbengong-bengong menyaksikan ulah saya. read more

Djarum 76

Saya akan mencoba memanggil kenangan masa kecil dari memori otak saya, bersama bapak yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak’e.

Menurut penilaian saya, bapak itu orangnya serba bisa. Pendiam namun maunya selalu bergerak, tandang gawe ini-itu. Rumah papan yang kami tempati dulu sebagian besar hasil karya bapak – tentu saja dalam pengerjaannya dibantu orang para tukang, artinya ia sendiri yang turun tangan mulai mengukur, menggergaji dan menempelkan papan pada tiang-tiang kaso. Kami, anak-anaknya, hanya melihat bagaimana bapak bekerja sesekali membantu mengambilkan martil, catut atawa paku yang jauh dari tempat bapak bekerja. read more