Nonton

Seingatku, tiga atawa paling banyak empat kali ibu pernah mengajakku nonton pagelaran wayang kulit. Tempatnya tak jauh dari rumah: di rumah tetangga yang kebetulan ada hajatan dan di pendapa kabupaten. Kenangan yang masih menempel di otak saya ketika nonton wayang di pendapa kabupaten dengan dalang Ki Anom Suroto. Lakon yang dimainkan apa, aku lupa. Dan aku juga lupa dalam rangka apa pagelaran wayang ini: untuk memeriahkan HUT kemerdekaan RI atawa kampanye partai beringin.

Pendapa kabupaten tak jauh dari rumah, hanya sepelemparan sandal saja. Jadi, untuk menuju ke tempat pagelaran wayang tak perlu buru-buru. Babak Limbuk-Cangik tentu saja masih aku nikmati dengan mata segar karena sosok ibu-anak yang lucu itu muncul sebelum mataku mengantuk. Apalagi banyolan-banyolan yang dilontarkan pak dalang membuat suasana makin meriah.

Ketika mataku mulai mengantuk aku rebahkan kepala di kaki ibu. Sebelumnya aku berpesan supaya dibangunkan ketika adegan Goro-goro dimulai. read more

Jarik

Ada dua sumber pembiayaan yang menjadi andalan ibuku, yakni organisasi PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) tingkat RT – sebuah organisasi untuk memberdayakan peran perempuan untuk kesejahteraan keluarga yang lahir di zaman Orde Baru dan Pegadaian. Sebagai ibu rumah tangga sejati, ia harus pandai-pandai memutar, mengatur, menutup, mengeluarkan dan mengendalikan keuangan keluarga yang jumlahnya sangat minim itu. Maklum saja, bapakku hanya PNS golongan IIA.

Tapi itulah kehebatan ibu. Meskipun punya pinjaman di mana-mana ia pandai mengaturnya. Tak pernah sekalipun aku dengar ada orang mencak-mencak menagih hutang ke ibuku. Semua dibayar tepat waktu. Orang bilang sih, gali lubang tutup lubang tetapi tak pernah terperosok dalam lubang yang digalinya itu. read more

Tetak

Malam itu aku demikian gelisah. Minyak lampu teplok yang tergantung di bilik kamarku telah habis terserap oleh sumbunya, redup sinarnya. Sebentar lagi gulita. Jantungku terasa makin cepat genjotannya, ketika fikiran membayangkan betapa ngerinya penyiksaan esok hari. Ya, aku akan dibantai atawa tepatnya dipenggal!

Azan subuh terdengar sayup-sayup ditingkahi dengan kokok ayam jago yang bersahut-sahutan dari penjuru kampung. Aku baru saja terlelap, tetapi sepasang tangan kekar telah menarik selimut dan menyeretku keluar kamar.

“Cepat siapkan drumnya… isi dengan air!” perintah si tangan kekar kepada orang di sebelahnya. Aba-aba selanjutnya ditujukan kepadaku.

“Ayo, lepas semua pakaianmu dan masuk ke dalam drum ini,” gertaknya.

Ketakutanku malah menambah dinginnya pagi itu. Aku menuruti perintahnya, masuk ke drum yang tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Gigi-gigiku gemeretak sebagai respon mulai membekunya syaraf-syaraf di sekujur tubuh. read more