Djarum 76

Saya akan mencoba memanggil kenangan masa kecil dari memori otak saya, bersama bapak yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak’e.

Menurut penilaian saya, bapak itu orangnya serba bisa. Pendiam namun maunya selalu bergerak, tandang gawe ini-itu. Rumah papan yang kami tempati dulu sebagian besar hasil karya bapak – tentu saja dalam pengerjaannya dibantu orang para tukang, artinya ia sendiri yang turun tangan mulai mengukur, menggergaji dan menempelkan papan pada tiang-tiang kaso. Kami, anak-anaknya, hanya melihat bagaimana bapak bekerja sesekali membantu mengambilkan martil, catut atawa paku yang jauh dari tempat bapak bekerja.

Pelan-pelan bapak mengajari kami bagaimana menancapkan paku yang benar, bagaimana memukul paku tersebut, hingga dua kayu terpasang secara sempurna. Meskipun bapak bukan tukang kayu, kotak piranti pertukangan yang ia punya sangat lengkap. Klas 5 atawa klas 6 (saya lupa), listrik tegangan 110V mulai memasuki dusun kami. Rumah papan kami mulai dialiri listrik 450 watt. 

Karena sudah ada listrik, bapak membeli peralatan solder listrik. Jika kabel radio putus, tak perlu ke tukang reparasi radio. Atawa Bapak membuat salon super besar dengan beberapa speaker, sehingga suara bass dan treble-nya enak terdengar di telinga. Saya pun tertarik bidang elektronika ini.

Suatu ketika saya membuat kesalahan fatal. Saya membuat gulungan trafo untuk mengubah tegangan dari 110V menjadi 220V, sebagai tugas pelajaran elektronika (waktu itu saya duduk di bangku SMP). Kata pak guru elektro trafo saya bisa digunakan untuk menaikkan tegangan ke 220V. Sampai di rumah, saya mencoba trafo tersebut. Tape recorder saya colokkan ke trafo saya. Namun apa yang terjadi? Trafo kecil di dalam tape recorder terbakar! Saya takut, pasti bapak akan memarahi saya. Tape recorder tersebut saya bawa ke pak guru elektro dan bertanya kenapa trafo tape recorder terbakar, hingga tape recorder saya rusak. Rupanya, saya lupa menggeser tombol hitam di belakang casing tape recorder ke posisi 220V. Apakah bapak marah? Tidak. Esoknya bapak membeli trafo baru dan saya diminta untuk memasang di tape recorder. 

Kisah di atas adalah secuil dari sifat bijaksana bapak terhadap anak-anaknya.

~oOo~

Suatu hari, sepulang kerja bapak membawa oleh-oleh kue kaleng coconut biscuit. Hari sudah malam (mungkin sekitar jam 9-an). Kami belum tidur. Bapak datang membawa oleh-oleh, kami segera menyambut dan membuka kaleng tersebut. Namun apa yang terjadi? Kue yang ada di kaleng kondisinya remuk.

Bapak kembali menutup kaleng, mengenakan celana panjang lagi (biasanya celana kerja dicantolkan di samping lemari lalu berganti dengan sarung) dan mengambil sepeda. Bapak mengajak saya untuk kembali ke toko tempat ia membeli kue kaleng. Jarak rumah ke toko kue tersebut hampir 12 km! Sampai di toko ternyata sudah tutup. Bapak mengetuk pintu toko, dan encik pemilik toko membukakan pintu. Bapak menunjukkan kue kaleng yang remuk dan minta ganti yang kondisinya bagus.

Encik pemilik toko masuk dan kembali membawa kue kaleng yang lain. Terjadi barter. Kami menikmati kue utuh esok harinya.

~oOo~

Rumah papan kami akhirnya diplester dengan semen, setelah sekian lama hanya beralaskan tanah. Dulu setiap siang ibu menyiram lantai tanah itu supaya tidak berdebu. Bau tanah yang tersiram air membuat segar suasana rumah. Bapak mengerjakan sendiri proses plesterisasi tersebut, sementara kami anak-anaknya membantu mengaduk pasir + gamping + bubuk bata merah. Campuran material ini sebagai dasar lantai sebelum diaci dengan semen.

Bapak mengajari kami untuk rajin mengepel lantai. Supaya lantai mengkilap, ibu menaburkan parutan kelapa bekas santan, lalu digosok-gosokkan dengan tangan. Lantai menjadi hitam dan mengkilat. Siang yang panas, tidur di atas lantai semen terasa adhem.

Pada suatu hari minggu, bapak menyiapkan penggaris, cat putih, dan kuas. Dengan tekun bapak membuat kotak-kotak persegi sebanyak 64 kotak, kemudian mengecatnya secara berselang-seling. O, rupaya bapak membuat papan catur di lantai semen. Buat main siapa? Bukankah kami – anak bapak – tak bisa bermain catur?

Hari minggu berikutnya, bapak mengeluarkan pion-pion catur dari sebuah plastik. Kami takjub. Saat itu, bapak mengajari kami bermain catur. Kalau bermusuhan dengan bapak, ia selalu ngalah tidak menggunakan Patih. Namun, kami selalu kalah bertanding dengan bapak.

~oOo~

Kami – anak bapak – berempat, laki-laki semua. Di rumah, ibu yang paling cantik. Bapak seorang perokok, namun kami tak pernah sekali pun merokok apalagi mencoba mengambil rokok milik bapak, bahkan ketika kami menginjak remaja. Sungguh, bapak sangat bebas menikmati rokoknya tanpa kuatir dicuri oleh anak-anak lelakinya. Bapak pernah bilang, kami tak boleh merokok selama belum bisa mencari uang sendiri. Larangan bapak sangat kami patuhi. Dari keempat anak bapak, akhirnya hanya ada seorang yang jadi perokok. Itu pun setelah ia bekerja, dapat uang sendiri, beli rokok dengan keringatnya sendiri.

Seingat saya, belum pernah sekalipun bapak menyuruh kami membelikan rokok di warung misalnya. Setelah saya punya gaji sendiri, saya pun belum pernah membeli rokok untuk saya berikan kepada bapak. Sepertinya, adik-adik saya pun demikian.

Tidak ada rokok favorit bagi bapak. Rasanya, asal rokok kretek bapak suka baik itu rokok lokal atawa rokok yang beredar secara nasional, seperti Djarum 76.

Eh, akhirnya tulisan ini sampai juga di Djarum 76. Bukan apa-apa. Saya hanya ingin kasih tahu kalau hari ini bapak berusia 76.  Seperti biasanya, tak ada ucapan selamat baginya (keluarga kami tak punya tradisi saling ucap selamat) atawa barangkali bapak tidak ngeh kalau hari ini, 76 tahun yang lalu, ia lahir dari rahim ibunya.