45 tahun

Saya ingin menceritakan tentang Bapak dan Ibu saya. Mereka mengikat janji di depan penghulu setahun setelah ontran-ontran PKI di negeri ini. Dari perkawinan itu lahirlah empat anak laki-laki, di mana saya anak pertamanya.

Seingat saya, sejak dulu bapak kalau memanggil ibu dengan sebutan ‘bu’ (mungkin sebelum saya lahir, ibu dipanggilnya dengan sebutan ‘dik’), sementara ibu kalau memanggil bapak dengan sebutan ‘mas’, hingga sekarang. Sementara, kami, anak-anaknya, memanggil bapak dengan sebutan Pak’e dan untuk ibu kami memanggil dengan sebutan Bu’e.

Di rumah, Pak’e pendiam, dalam arti jarang berbicara. Lebih banyak kerja. Sikap pendiam ini yang sering membuat kami sungkan dan takut untuk minta sesuatu kepadanya. Misalnya, di sekolah harus beli ini-itu atawa meninginkan suatu permainan, maka kami mengandalkan peran Bu’e untuk meneruskan permintaan kami kepada Pak’e. Kalau pun Pak’e tidak mengabulkan permintaan kami atawa menunda karena belum gajian, pesan itu akan disampaikan melalui Bu’e. O, iya. Pak’e adalah seorang PNS golongan II, sementara Bu’e sebagai manager rumah tangga.

Diam-diam Pak’e pernah memotong papan kayu sengon untuk dibuat empat pistol mainan, diamplas, lalu dicat hitam. Keempat pistol mainan itu diberikan kepada kami, sehingga kami bisa bergabung dengan teman-teman kami bermain tembak-tembakan.

Komunikasi seperti itu, berlangsung hingga kami semua lulus sekolah. Setelah kami berkeluarga, ngobrol dengan Pak’e menjadi sering kami lakukan misalnya pada saat mudik lebaran atawa ketika Pak’e dan Bu’e berkunjung ke rumah kami.

Bu’e memang manager rumah tangga yang hebat. Pak’e masuk masa pensiun ketika keempat anak lelakinya masih duduk di bangku kuliah. Kami semua bisa diwisuda. Untuk bisa membantu mereka, kami kuliah nyambi ikut proyek dosen. Upaya lain, kami mengajukan keringanan SPP kepada Pak Rektor, karena kebetulan kami berempat kuliah di universitas yang sama. Lumayan, oleh Pak Rektor diberi diskon 50% SSP dua semester.

Meskipun jarang bicara, Pak’e selalu mengajari kami dalam pekerjaan laki-laki, seperti pekerjaan tukang (kayu/batu), instalasi listrik atawa mekanik. Bangunan rumah yang sekarang ditempati Pak’e dan Bu’e masih ada bau keringat kami, termasuk sebuah sumur yang kami gali secara bergotong royong.

Sementara itu, Bu’e mengajari kami pekerjaan rumah tangga, bahkan berbelanja bahan makanan yang akan dimasak hari itu. Bu’e membekali kami dengan secarik kertas berupa daftar belanjaan. Daftar ini kami berikan kepada pemilik warung, lalu mendapatkan barang belanjaan. Sebelum kami pulang, pemilik warung mencatat jumlah belanjaan di buku kecil dan menitipkan pesan kepada kami jumlah belanjaan hari itu.

Di hari lebaran kemarin, Bu’e menyinggung cerita di atas itu dan terlontar permintaan maafnya kepada anak-anaknya yang disampaikan melalui saya. Kata Bu’e semestinya ia sendiri yang membawa catatan itu.

Kewajiban kami sekarang adalah membahagiakan mereka berdua, bukan (lagi) membebani tenaga dan pikiran mereka. Alhamdulillah, tahun 2006 lalu kami memberangkatkan mereka naik haji dan beberapa bulan lalu melunaskan keinginan mereka berkunjung ke rumah Kanjeng Nabi.

Semoga Gusti Allah selalu memberkahi mereka dengan keselamatan, kesejahteraan, kesabaran dan kesehatan. Amiin.

Mengenang KH. Adji Mubarok Rahmat

Kabar yang saya terima sungguh mengejutkan: Selasa, 20 September 2011 sekitar pukul 17.20 WIB, KH. Adji Mubarok Rahmat Ketua MUI Kabupaten Karawang meninggal dunia. Selain sebagai Ketua MUI, Pak Haji – demikian saya memanggil, juga sebagai ketua forum KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), sementara Pak Haji sendiri sebagai pemilik KBIH Al-Kholiliyah. Pak Haji juga dikenal sebagai tokoh pendidik dan mubaligh yang terkenal sampai pelosok Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang dan sekitarnya.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga Gusti Allah melapangkan jalan Pak Haji menuju ke haribaan-Nya.

Banyak kalangan yang merasa kehilangan terhadap tokoh yang satu ini, termasuk saya.

bersambung…