Memperebutkan Setyaboma

Setyaboma, sekar kedaton Kerajaan Lesanpura itu sedang galau-galaunya. Jadi orang cantik level sepuluh ada nggak enaknya, katanya. Banyak yang antri untuk menjadi suaminya, tetapi ia sendiri kebingungan memilih lelaki yang mana yang pantas menjadi pelindungnya kelak. Menurut perhitungannya, setidaknya sudah ada tujuh puluh enam lelaki yang mendaftar menjadi suaminya, baik itu lelaki dari kalangan rakyat jelata atau ksatria dari kerajaan di sekitar Lesanpura. Satu dua orang sih menarik hatinya, meskipun ia sendiri tidak mengenal secara dekat para lelaki tersebut.

“mBakyu mesti punya suami yang kuat,” kata Setyaki adik lelakinya.

“Tapi bagaimana caranya untuk mendapatkan suami yang kuat seperti itu, dik?” tanya Setyaboma setengah putus asa.

“Kalau mBakyu setuju, kita adakan sayembara. Siapa yang bisa mengalahkan diriku dalam perang tanding adu kekuatan denganku, dialah yang akan menjadi suami mBakyu. Pripun?” usul Setyaki. read more

Limbuk diputus cintanya

Perempuan yang sebetulnya belum tua betul itu, membetulkan letak susur-nya. Buntalan tembakau sebesar telur ayam kampung yang disebut susur itu disumpalkan ke dalam mulutnya untuk dikulum-kulum. Kegiatan yang disebut nginang ini lazim dilakukan oleh perempuan Jawa zaman dulu. Prosesi nginang didahului dengan mengunyah daun sirih yang dibumbui dengan biji pinang/jambe, gambir dan olesan kapur sirih/injet. Daun sirih yang dikunyah-kunyah di dalam mulut tadi, ketika bercampur dengan air liur mengakibatkan warna air liur berwarna merah darah. Orang Jawa menyebutnya dubang, idu abang/ludah yang berwarna merah. Untuk menampung dubang, orang yang nginang akan menyediakan semacam mangkuk kecil yang disebut dengan paidon.

Ia menerawang ke arah halaman rumah, sesekali mencabut susur-nya lalu meludah ke paidon yang terbuat dari kuningan yang ia taruh di bawah bale-bale. Nama perempuan yang berperawakan kurus itu adalah Cangik. Entahlah kenapa bapaknya dulu menamakan dirinya demikian. Kini, ia telah mempunyai anak gadis yang berumur sembilan belas tahun, Limbuk namanya.

Berbeda dengan ibunya yang berbadan kurus, tubuh Limbuk subur-makmur bahkan cenderung tinggi besar. Wajahnya lebar, dan kelihatan semakin lebar karena ia suka berpakaian a la kembenan atau bertelanjang pundak. Ya, memang demikian adat berpakaian perempuan Jawa zaman dulu. read more

Ketemu Bung Karno di JCC

Tadi siang saya mengunjungi IIICE 2014 (Indonesia International Infrastructure Conference and Exhibition) yang bertempat di Jakarta Convention Center. Sebagai praktisi yang bergerak di bidang kawasan industri, bagi saya IIICE 2014 menjadi hal yang sangat penting untuk diikuti. Saya tak hendak menceritakan IIICE 2014 tersebut, Anda bisa membacanya di beberapa media online untuk mengetahui lebih detil tentangnya.

Pada saat saya mengitari lokasi pameran, mata saya menumbuk pada sebuah booth yang didominasi warna merah dengan tulisan Soekarno cukup besar. Saya pun mendekat dan mengamati koleksi yang dipamerkan: buku-buku tentang Bung Karno. Beberapa di antaranya sudah tersimpan di perpustakaan rumah saya. Aha! Saya menemukan sebuah buku yang selama puluhan tahun saya cari-cari: Bung Karno, Bapakku-Kawanku-Guruku (BKBKG) karya Guntur Soekarno. read more