Masa Orientasi Lapangan

Saya hirup dalam-dalam udara pagi kota Mekkah. Dinginnya telah memenuhi rongga dada. Saya bersama dua orang teman pulang ke maktab, kami yang sebelumnya berangkat ke Masjidil Haram dalam satu rombongan, telah bercerai-berai. Itu pasti, karena masing-masing masih ingin berlama-lama menatap Ka’bah, atau tafakur di dalam masjid.

Modal pengetahuan saya hanya hafalan di kepala, ke mana arah bus yang membawa kami dari maktab ke Masjidil Haram dini hari tadi. Kalaupun nanti nyasar, saya masih membawa identitas yang lengkap. Alhamdulillah, setelah sekian lama berjalan kaki, di depan kami lewat bus jemputan yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengangkut jamaah dari maktab masing-masing ke Masjidil Haram pp.

Sampai di maktab, mandi, ganti pakaian, kemudian keluar lagi di sekitar maktab untuk mengenal lingkungan. Uang beberapa riyal saya bawa serta. Untuk menghangatkan badan, saya membeli segelas kopi seharga 2 riyal. Sempat kaget juga, orang-orang Arab yang membuka tokok sekitar maktab bisa berbahasa Indonesia meskipun dengan kosa kata yang sangat terbatas.

Saya catat di benak nama hotel tempat saya menginap, nomornya, di jalan apa dan di wilayah mana. Saya tanya juga kepada pemilik toko kelontong tempat saya membeli kopi tadi, jenis kendaraan (angkot dan taksi) yang menuju ke Masjidil Haram.

Pagi itu saya sarapan roti jatah yang diberikan dalam perjalanan Jeddah – Mekkah semalam. Mau cari nasi, belum tahu di mana warungnya. Selesai sarapan, saya menuju lantai 8 (kamar saya di lantai 2) untuk orientasi tempat jemuran pakaian. Kloter saya termasuk yang pertama kali masuk maktab, sehingga masih berkesempatan mendapatkan lantai bawah.

Mulailah aktivitas hari itu, membeli ember dan gayung dilanjutkan dengan mencuci pakaian-pakaian kotor yang lumayan banyak termasuk 2 lembar kain ihram yang cukup besar (nanti setelah tahu ada jasa loundry di sekitar maktab, kain ihram setiap selesai saya pakai masuk ke loundry lumayan bisa mengirit tenaga untuk mencucinya dan dijamin bersih lagi). Dari tanah air sudah saya siapkan tali tambang plastik dan paku beton untuk membuat tali jemuran.

Orientasi saya lanjutkan untuk mengetahui di kamar berapa dokter kloter berada, klinik maktab, dan masjid yang terdekat dengan maktab. Pengalaman orientasi ini sangat bermanfaat untuk tinggal 39 hari ke depan di Tanah Haram.

Menyaksikan matahari tenggelam di Jeddah dan terbit di Mekkah

Sesaat sebelum melewati wilayah miqat (batas untuk memulai berniat ihram), crew Saudi Arabian Airlines memberitahukan kepada para penumpang kalau pesawat sebentar lagi melewati wilayah miqat, saya yang sudah memakai kain ihram (kain yang berwarna putih, tidak berjahit, terdiri 1 helai sebagai sarung dan 1 helai sebagai selendang) mulai berniat ihram. Saat itu, larangan-larangan ketika ber-ihram mulai berlaku, seperti tidak boleh memotong rambut atau kuku, bertengkar dan sebagainya.

Kalimat talbiyah mulai menggema di dalam pesawat. Rongga dada saya semakin sesak saja, memaknai arti kalimat talbiyah yang saya ucapkan. “Labbaika Allahhumma Labbaika, Labbaika La Syarika Laka Labbaika, Innal Hamda wan Ni’mata Laka Wal Mulku, La Syarika Laka – Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan segala kenikmatan hanyalah milik-Mu dan segala kekuatan. Tiada sekutu bagi-Mu”. read more

Berhala Ponsel

Pengguna ponsel tidak mengenal lagi status sosial seseorang. Siapun sekarang ini menggunakan ponsel. Bayangkan, dengan harga 200 ribuan, orang bisa memiliki ponsel.

Ponsel memang barang ajaib. Selain untuk berkomunikasi secara telewicara bisa digunakan untuk mengirim data, berselancar di dunia maya atau untuk menyimpan lagu-lagu yang jumlahnya ratusan. Sepertinya, kita tidak dapat “hidup” tanpa ada ponsel di tangan kita. Benarkah?

Saya sedang belajar tidak tergantung kepada ponsel, karena benda ini telah menjadi “berhala” bagi kehidupan saya. read more