Menyaksikan matahari tenggelam di Jeddah dan terbit di Mekkah

Sesaat sebelum melewati wilayah miqat (batas untuk memulai berniat ihram), crew Saudi Arabian Airlines memberitahukan kepada para penumpang kalau pesawat sebentar lagi melewati wilayah miqat, saya yang sudah memakai kain ihram (kain yang berwarna putih, tidak berjahit, terdiri 1 helai sebagai sarung dan 1 helai sebagai selendang) mulai berniat ihram. Saat itu, larangan-larangan ketika ber-ihram mulai berlaku, seperti tidak boleh memotong rambut atau kuku, bertengkar dan sebagainya.

Kalimat talbiyah mulai menggema di dalam pesawat. Rongga dada saya semakin sesak saja, memaknai arti kalimat talbiyah yang saya ucapkan. “Labbaika Allahhumma Labbaika, Labbaika La Syarika Laka Labbaika, Innal Hamda wan Ni’mata Laka Wal Mulku, La Syarika Laka – Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan segala kenikmatan hanyalah milik-Mu dan segala kekuatan. Tiada sekutu bagi-Mu”.

Masih ada cukup waktu untuk istirahat, sebelum pesawat mendarat di Bandara Jeddah.

Ketika keluar dari pesawat, saya menyaksikan ke arah barat warna langit yang merah keemasan tanda hari merambat ke waktu senja. Matahari bulat bundar, pelan-pelan tenggelam. Hati semakin mengharu biru. Ada perasaan aneh dan ajaib sangat terasa di hati saya. Terbayang-bayang ribuan malaikat sudah menunggu menjemput saya menuju Tanah Haram. Kembali saya mengucapkan kalimat talbiyah, menembus relung jiwa dan mengalir ke sekujur tubuh.

Lewat tengah malam kaki saya menginjak Tanah Haram. Letih dan penat akibat tenaga dan fikiran yang terkuras hampir 24 jam sejak dari tanah air, kembali bugar ketika kaki saya akan melangkah menuju Masjidil Haram. Tubuh saya begitu ringan ketika saya bawa masuk ke halaman Masjidil Haram.

Dari kejauhan Ka’bah mulai terlihat, dan tanpa saya sadari mata saya semakin lama semakin basah. Bibir terkatup, tak mampu mengucapkan kata. Akhirnya, saya bersimpuh di hadapan Ka’bah. Maka, siapakah yang mampu menahan air matanya tertumpah manakala sepasang matanya menatap Ka’bah yang begitu agung dan berwibawa? Lidah kelu berbicara, dada pepat oleh rasa haru, hanya hati yang bicara, mengucap syukur tak terhingga.

Air mata saya semakin tertumpah, bahu saya naik turun oleh isakan tangis. Entah berapa juta rasa yang bercamuk di dalam dada saya waktu itu. Saya bersyukur, karena dini hari itu saya mampu menyaksikan Ka’bah dari jarak yang begitu dekat, bangunan berbentuk kubus itu kemarin hanya bisa saya lihat gambarnya di sajadah saya atawa foto di buku manasik yang saya baca. Kepala saya tertunduk, ihram saya kuyup untuk menghapus air mata. Setiap kepala saya tengadahkan kepada Ka’bah, lagi-lagi keluar air mata saya.

Saya juga malu kepada Gusti Allah, atas kesalahan dan dosa yang pernah saya lakukan. Semua rekaman perbuatan seperti terpampang di dinding Ka’bah. Hampir setengah jam, saya tidak mampu berdiri untuk segera memulai tawaf, berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali.

Ketika melakukan tawaf, saya berdoa dan mencurahkan semua keinginan saya kepada Gusti Allah. Saya merasa begitu dekat dengan-Nya.

Saat itu, suasana Masjidil Haram relatif agak sepi. Saya bisa shalat di dekat Maqam Ibrahim, bersimpuh di sana, berurai air mata lagi. Tubuh dan jiwa saya semakin segar, ketika saya minum segelas air zamzam sambil menghadap Ka’bah. Memang ajaib, badan seperti di-charge, energi terkumpul kembali untuk melaksanakan Sa’i, yaitu berjalan dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Tujuh kali bolak-balik. Rangkaian ibadah umroh ini diakhiri dengan tahallul atawa menggunting rambut.

Saya belum ingin meninggalkan Masjidil Haram, maka saya menunggu hingga saatnya shalat subuh tiba.

Ketika berjalan pulang ke maktab (rumah/penginapan), saya menyaksikan matahari mulai terbit dari balik perbukitan di sekitar kota Mekkah. Semburat sinarnya sangat indah, menyambut kedatangan saya untuk tinggal 40 hari lamanya di Tanah Haram.