Umroh… Umroh… dan Umroh

Meskipun maktab saya 6 km jaraknya dari Masjidil Haram, tapi akses ke sana relative mudah. Dan membuat saya bersyukur, letak maktab tidak jauh dari Masjid Tan’im/Masjid Aisyah, masjid untuk miqot jika jamaah ingin melakukan ibadah umroh.

Jika saya ingin umroh, dari maktab ke Masjid Tan’im saya jalan kaki, bahkan pernah dapat tebengan dari orang arab yang baik hati dan sampai di sana berganti pakaian ihram, kemudian naik angkot ke Masjidil Haram yang bertarif 2 riyal. Alhamdulillah, saya bisa melaksanakan umroh beberapa kali. Bayangkan saja, kalau melakukan umroh dari tanah air berapa puluh juta harus dibayarkan ke biro perjalanan kan ha..ha..ha..

Dari umroh ke umroh, saya berusaha memperbaiki cara tawaf dan sa’i yang saya lakukan sebelumnya, termasuk menambah doa-doa yang belum saya mohonkan kepada Gusti Allah kemarin. Setiap duduk bersimpuh di depan Ka’bah, saya buka catatan do’a titipan dari teman dan kerabat dari tanah air. Namanya juga amanah, saya berusaha untuk selalu memegangnya.

Suatu saat saya ditegur oleh teman satu rombongan, kalau kepala saya jadi pitak di sana-sini. Maklum saja, ketika saya bertahalul asal memotong rambut saya.. cres…cres…cres…

Ustadz Lokal Saja

Acara pamitan saya untuk pergi ke Tanah Haram saya lakukan dengan cara yang sederhana saja. Alasan pertama, tidak ada dasar hukum yang mengatur hal itu. Kedua, kepergian saya ke Tanah Haram dalam rangka ibadah, sehingga pelepasan kepergian saya harus bernilai ibadah juga. Ketiga, wong saya yang pulang mudik lebaran selama seminggu saja pamitan kepada para tetangga, masak pergi selama sebulan lebih tidak pamitan kepada mereka. Acara pamitan saya laksanakan 3 hari sebelum jadwal berangkat ke Tanah Haram.

Dari awal, sengaja saya tidak ingin “memakai” mubaligh atawa dai terkenal untuk acara pamitan saya. Di masjid perumahan saya, ada Ustadz Fahid (sebut saja begini) yang dedikasinya terhadap dakwah islam tidak perlu diragukan lagi. Selain aktif di beberapa majlis taklim, dia juga guru di sebuah madrasah, yang kebetulan anak kedua saya sekolah di sana. Ketika saya datang ke rumahnya untuk minta dia memberikan materi tausiyah dan memimpin doa di acara pamitan saya, dia sempat kaget, dia bilang begini: “nggak salah pak, saya kan belum haji?”

Saya tersenyum dan mengatakan, “kenapa memang kalau belum haji? Bukankah Gusti Allah menilai manusia bukan dari haji atawa belum haji, Ustadz. Saya hanya berharap mudah-mudahan ini sebagai salah satu jalan bagi Ustadz untuk segera ke Tanah Haram”. Dan Ustadz Fahid menyanggupinya sambil nyeletuk, “Iya..ya.. saya belum pernah ke surga saja, bisa ceramah soal surga ha..ha..!”

Ternyata, ketika saya mengundang tetangga untuk hadir dalam acara pamitan tersebut sebagian besar bertanya: mubalignya siapa? Bagi saya, pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan acara pamitan tersebut.

Hari H datang juga. Ustadz Fahid datang tepat pada waktunya, sehingga leher saya tidak seperti leher angsa. Tidak seperti kalau menunggu mubaligh terkenal, hati gelisah, leher jadi panjang karena sebentar-sebentar menengok ke arah jalan menanti kedatangan mubaligh, sementara tamu-tamu sudah pada datang.

Acara dimulai dipimpin oleh Ustadz Kas, teman sekantor saya. Dia ini aktivis dakwah juga. Ada satu teman saya lagi, yang membantu acara pamitan tersebut, Ustadz Has.

Isi ceramah Ustadz Fahid sungguh bernas, masih membekas di hati saya sampai dengan saat ini. Kalimat talbiyah yang dikumandangkan Ustadz Kas, saat saya mendatangi tamu-tamu saya untuk bersalaman, mohon doa, mohon maaf dan beberapa tetangga saya titipi anak dan rumah saya, membuat haru dan khusuk.

Makanya, ketika di Tanah Haram sana setiap saya berdoa di tempat-tempat di mana doa terkabulkan oleh-Nya, nama ketiga ustadz selalu saya sertakan dalam doa-doa saya.

Ucapkan saja: Hajj…Hajj….

Untuk kesekian kalinya saya melakukan shalat dan tawaf di Masjidil Haram, sehingga hapal dengan perilaku jamaah dari negara lain. Orang Indonesia termasuk santun dalam melaksanakan ibadah. Contohnya begini, ketika azan dikumandangkan masjid dengan sangat cepat segera penuh. Ada sedikit sela di antara dua orang yang sedang duduk, maka tak segan-segan orang akan masuk ke sana dan melakukan shalat sunah tanpa menghiraukan kanan kirinya. Kalau orang Indonesia yang menyela tempat duduk, akan memberikan isyarat dengan bahasa tubuh yang santun dengan mengucapkan kata “permisi”.

Di sana kita tidak perlu tersinggung ketika kepala kita digunakan untuk pegangan orang yang mencari shaf yang sedikit kosong. Pertama kali dipegang, saya merasa risih juga: sialan, kepala gue dipegang-pegang. Akhirnya, ya biasa saja. Memang begitu perilaku orang-orang dari negara lain.

Nah, kalau kebetulan kita akan lewat tapi terhalang oleh kerumunan jamaah lain, ucapan saja: “hajj..hajj…” Itu artinya kita minta numpang lewat. Atau kalau kerumunannya jamaah wanita, ucapkan: “hajjah…hajjah…“ Atau bisa juga kita mendesis: “Swwisss….swwiiissss…sswwiissss….” mereka akan menyingkir dan memberi jalan.

Oh ya, misalnya juga kita minta tolong untuk diambilkan air zamzam kebetulan di lokasi itu sedang penuh, ucapkan saja: “hajj..hajj..” sambil menunjuk air zamzam.

Untuk minta tolong jamaah lain untuk mengambilkan Al-Qur’an atau mengembalikan ke tempatnya, ucapkan saja: “hajj..hajj…” Kata “hajj” memang ajaib he…he…

Satu kata lain yang sering terdengar ketika jalan keluar masuk masjid penuh sesak dan tidak segera bergerak, ucapkan: “thariq…thariq..” Tunggulah sebentar, kerumunan tersebut pelan-pelan akan bergerak maju.