Masjid Nabawi yang Agung

Saya memulai Arba’in pada shalat dzuhur dan nanti akan berakhir pada shalat subuh di hari ke-8. Jarak dari maktab 20 menit jalan kaki.

Ketika masuk halaman masjid, hati sudah bergetar apalagi masuk ke dalamnya. Subhanallah, masjid yang sangat indah dan agung. Saat itu masjid relatif masih sepi, saya leluasa berkeliling melihat-lihat suasana masjid. Tiang-tiang masjid yang kokoh dengan ornamen-ornamen keemasan tertimpa lampu, tempat shalat lelaki dan wanita terpisah, rak-rak tempat Al-Qur’an tersebar di mana-mana, drum-drum plastik air zamzam tertata rapi di tepian ruang masjid. Seperti halnya Masjidil Haram, Masjid Nabawi mempunyai pintu yang sangat banyak.

Hari pertama, saya belum berani mengambil foto Masjid Nabawi.

Setengah jam menjelang azan, jamaah mulai berdatangan dan tidak lama kemudian masjid penuh, belum nanti yang shalat di halaman masjid sama penuhnya juga. 

Selama delapan hari shalat di sana, saya berpindah-pindah tempat untuk menambah pengalaman. Shalat di Masjid Nabawi saya rasakan lebih khusyuk dibanding di Masjidil Haram. Oh ya, ada satu hal lagi yang menarik di masjid ini yaitu kubah masjid bisa dibuka-tutup. Selesai dzuhur saya suka menunggu kubah tersebut terbuka, dan pelan-pelan saya akan menyaksikan awan putih berarak di langit biru dari “lubang” atap masjid.

Di sekitar masjid juga banyak sekali burung merpati, bahkan saya lihat ada beberapa merpati yang bertengger di lampu-lampu di dalam masjid.

Di dalam maupun di lingkungan luar masjid saya banyak melakukan interaksi dengan jamaah dari negara lain dan ada beberapa pengalaman saya alami di tempat ini.

Nanti. insya Allah akan saya ceritakan kepada Anda.

Perjalanan Menuju Al Madinah Al Munawwaraah

Seharian itu, saya dan teman-teman sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa ke Madinah. Sebagian barang dan oleh-oleh ada yang sudah dipaketkan ke tanah air. Waktu saya tinggal untuk melaksanakan Tawaf Wada’ semua barang sudah rapi, kalau “sewaktu-waktu” harus segera meninggalkan maktab tinggal angkut saja.

Kenapa saya bilang “sewaktu-waktu”, karena sudah menjadi kebiasaan “panitia” di Saudi Arabia sana jadual yang telah disusun tidak bakalan tepat waktu. Selalu diburu-buru atau diulur-ulurkan waktunya. Contoh:

  1. Ketika di Bandara Jeddah, harusnya kami cuma istirahat setengah jam, nyatanya 4 jam kemudian baru diberangkatkan ke Mekkah.
  2. Jadual berangkat ke Arafah dijadualkan jam 9 pagi, makanya sejak pagi kami sudah siap dengan pakaian ihram, ternyata jam 13.00 bus baru datang menjemput kami.
  3. Selesai wukuf di Arafah, kami dikasih tahu kalau berangkat ke Muzdalifah jam 8 malam. Lumayan bisa untuk makan malam dan tidur-tiduran sejenak. Tetapi kenyataannya, makan baru dapat separo kami diburu-buru untuk segera menuju bus. Amboi, ternyata menunggu busnya hampir 1,5 jam.
  4. Dari Muzdalifah ke Mina pun demikian, serba diburu-buru.
  5. Kemudian dari Mina ke Mekkah, jadual dipercepat 3 jam!

Dan kami mengalami lagi untuk perjalanan ke Madinah ini. Waktu dipercepat 2 jam, seharusnya jam 10 kami berangkat, tapi jam 8 harus segera keluar maktab karena bus sudah datang. Tapi ujung-ujungnya kami berangkat juga jam 10, karena 2 jam waktu habis untuk “bertarik urat leher” dengan sopir bus. Apa pasal? Sopir tidak mau menjalankan bus, kalau ada barang/tas di lorong bus. Terpaksa kursi paling belakang kami kosongkan untuk meletakkan barang-barang kami, karena bagasi bus (yang ada di atap bus) sudah tidak ada space lagi karena telah dipakai untuk menaruh koper-koper besar kami).

Perjalanan malam sepanjang 470 km ini sepenuhnya tidak bisa saya nikmati, karena di luar gelap. Tapi saya sempat membayangkan perjalanan hijrah Rasulullah SWA dari Mekkah ke Madinah. Saya pun segera terlelap. Di pertengahan perjalanan, bus berhenti untuk istirahat. Saya turun untuk mencari toilet. Udara di luar sangat dingin, buru-buru saya masuk bus lagi.

Menjelang subuh kami sampai di kota Al Madinah Al Munawwaraah (Kota yang disinari dan menyinari). Madinah termasuk dataran tinggi, letaknya 660 meter di atas permukaan laut. Saat tiba di sana, dinginnya langsung menembus ke tulang saya.

Pembagian kamar agak semrawut dan saya mendapatkannya di lantai 4. Seperti Mekkah dulu, pagi itu saya melakukan orientasi lapangan. Masjid Nabawi yang saya rindukan untuk melakukan shalat fardhu 40 waktu berturut-turut tanpa putus (disebut Arba’in) terlihat dari maktab saya. Indah sekali.

Melaksanakan Tawaf Wada’

Ada rasa sedih yang mendalam ketika masuk angkot untuk melaksanakan Tawaf Wada’ (perpisahan). Tawaf ini wajib dilakukan jika jamaah haji akan meninggalkan Mekkah (menuju tanah air masing-masing). Tidak ada keringanan untuk meninggalkan Tawaf Wada’ ini kecuali bagi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas.

Suasana Masjidil Haram tidak begitu padat, karena waktu itu antara subuh dan dhuha. Saya bisa tenang melakukan tawaf, bahkan bisa menyentuh Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Setelah shalat sunat dua rakaat saya duduk bersimpuh di depan Ka’bah. Belum bisa berkata apa-apa, mata saya hanya memandangnya saja.

Tak terasa air mata meleleh karena akan berpisah dengannya.

Semilir angin pagi menambah khikmat tafakur saya. Di akhir doa saya berharap bisa datang lagi mengunjungi Tanah Haram bersama-sama dengan keluarga, sanak kadang, dan teman yang menitipkan doa kepada saya “untuk dipanggil-panggil ke Baitullah”. Malamnya, jadual kloter saya menuju Al Madinah Al Munawwaraah.

Sangat berat kaki ini melangkah keluar dari Masjidil Haram. Di halaman saya tertegun sejenak menatap menara-menara masjid yang menjulang tinggi. Saya tersentak kaget ketika penjaja makanan burung menawarkan dagangannya. Saya membeli satu bungkus, kemudian saya tebarkan ke halaman Masjidil Haram dan ratusan burung merpati menghampirinya.

Indah sekali pemandangan pagi itu.

“Sampai bertemu kembali di lain waktu, ya Masjidil Haram”, bisik saya dalam hati. Amiin.