Enaknya Punya Saudara yang Jadi TKI/TKW

Salah satu pemandangan di depan maktab tempat saya suka duduk, di sana tergelar karpet yang cukup luas. Karpet itu dipergunakan bagi jamaah menerima tamu. Lalu siapa tamu itu? Mereka adalah orang yang telah lama mukim di Mekkah jadi TKI/TKW. Jadi mereka ini mengunjungi saudaranya yang sedang melaksanakan ibadah haji.

Mereka berkunjung naik mobil sedan mahal (entah punya sendiri atau majikannya ya), membawa oleh-oleh yang banyak. Kadang sambil menunggu saudaranya turun dari lantai 7 menemui mereka, saya ajak berbincang. Tujuan saya ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai adat istiadat dan karakter orang arab, Mekkah khususnya. Informasi ini sangat bermanfaat jika suatu saat saya pergunakan untuk berkomunikasi dengan sopir taxi/angkot atau dengan para pedagang saat saya berbelanja.

Teman saya bertanya kepada saya, apakah saya mempunyai saudara yang bekerja sebagai TKI/TKW di sini? Saya jawab tidak punya. Saya balik bertanya, dan dijawab olehnya kemarin dia dikunjungi saudaranya itu.

“Enak dong kang dapat oleh-oleh banyak, bagi-bagi ya?” canda saya.

“Enak apanya mas, wong saya malah ketitipan barang untuk disampaikan ke saudara-saudara di kampung sana. Itu kan mengurangi jatah bagasi saya kan?”, jawabnya.

Koper kami dijatah oleh pihak penerbangan hanya boleh membawa barang maksimal 32 kg!

Hajj…Hajj… Halal…Halal…

Di waktu luang sering saya pergunakan untuk sosialisasi dengan jamaah lain. Dengan latar belakang yang berbeda-beda membuat pengalaman batin saya semakin bertambah. Tempat ngobrol paling nikmat ada di depan maktab, duduk di dekat tangga masuk maktab.

Sedang seru-serunya ngobrol, dari jalan depan maktab (maktab saya terletak di Al Madinah Al Munawarah Road – akses jalan yang cukup ramai) terlihat mobil Alphard berhenti kemudian kacanya terbuka dan dari dalam terdengar teriakan: hajj…hajj.. halal..halal… Saya ragu untuk mendekat, tetapi setelah orang yang di dalam mobil melambaikan tangannya saya pun bergegas ke sana. O, rupanya mereka (yang ada di mobil ada 4 orang) membagikan kardus-kardus berisi kue. “Halal..halal…(boleh…boleh..)” katanya. Saya pun memanggil teman-teman untuk ikut mendapatkan kue.

Mobil berlalu, saya tanya kepada petugas hotel dalam rangka apa mereka memberi kue kepada kami. Dan saya mendapatkan penjelasan bahwa orang-orang Mekkah pada musim haji seperti ini senang melakukan sedekah kepada jamaah haji. Mereka mendatangi maktab-maktab untuk membagikan sedekahnya.

Dan benar saja, setiap hari saya mendapatkan sedekah itu. Ada yang berupa nasi, kue, minuman atawa buah-buahan segar.

Pantas saja orang Mekkah rejekinya lancar, wong banyak sedekahnya gitu sih!

Bulan Purnama di Laut Merah

Setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, sebagian besar beban telah terlepas, tinggal melaksanakan tawaf wada’ (perpisahan) saja. Waktu yang ada saya pergunakan untuk pergi ke Jeddah, kira-kira 2 jam perjalanan dari Mekkah.

Tujuan pertama adalah Masjid Qishas, masjid yang setelah shalat jumat biasa digunakan untuk melaksanakan hukum qishas. Saya melakukan shalat asar di sana. Sambil memandangi menara masjid, saya nikmati kentang goreng seharga 2 riyal yang dijual oleh pedagang dari India. Setelah puas, perjalanan saya lanjutkan dengan berkeliling kota Jeddah.

Jeddah lebih terbuka dari pada Mekkah, kotanya lebih modern serasa di Jakarta saja. Pusat-pusat perbelanjaan sangat banyak, juga taman-taman kota yang dipenuhi orang menikmati udara petang. Taman kota dipenuhi kreasi seni berupa patung-patung abstrak, ada juga patung sepeda yang ukurannya raksasa. Air mancur (katanya tertinggi di dunia) menambah indah kota Jeddah. Tak terasa kendaraan yang membawa saya sampai ke areal Laut Merah. Mirip suasana Ancol.

Di tepi pantai, banyak orang menggelar tikar sambil pesta BBQ sementara anak-anak bermain bola dan sepeda. Ada juga keluarga yang cuma bercengkerama di antara mereka. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar azan isya dari masjid yang ada di sekitar situ, belakangan diketahui bahwa masjid tersebut biasa disebut Masjid (Ter)apung karena posisinya berada di atas laut. Setelah shalat di sana, saya berjalan sendirian di tepian pantai. Ada sebongkah rindu tanah air di dada ini, apalagi ketika kepala saya mendongak ke atas, bulan purnama ada di sana. Rindu itu susah sekali diungkapkan dengan kata-kata. Bulan serasa makin bulat saja.

Di saat melamun semilir angin menuju ke arah saya membawa aroma bau sate. Dan benar saja, dari arah depan teman saya tergopoh-gopoh membawa beberapa bungkus sate, saya ambil sebungkus. Sate ayam rasa Indonesia, maklum yang jualan orang Madura. Untuk menghangatkan badan, saya membeli teh panas tanpa susu seharga 1 riyal. Kembali saya nikmati indahnya purnama di Laut Merah.

Perjalanan hari itu diakhiri dengan belanja oleh-oleh di Corniche Commercial Centre, sebelum kembali ke Mekkah.