Hajj…Hajj… Halal…Halal…

Di waktu luang sering saya pergunakan untuk sosialisasi dengan jamaah lain. Dengan latar belakang yang berbeda-beda membuat pengalaman batin saya semakin bertambah. Tempat ngobrol paling nikmat ada di depan maktab, duduk di dekat tangga masuk maktab.

Sedang seru-serunya ngobrol, dari jalan depan maktab (maktab saya terletak di Al Madinah Al Munawarah Road – akses jalan yang cukup ramai) terlihat mobil Alphard berhenti kemudian kacanya terbuka dan dari dalam terdengar teriakan: hajj…hajj.. halal..halal… Saya ragu untuk mendekat, tetapi setelah orang yang di dalam mobil melambaikan tangannya saya pun bergegas ke sana. O, rupanya mereka (yang ada di mobil ada 4 orang) membagikan kardus-kardus berisi kue. “Halal..halal…(boleh…boleh..)” katanya. Saya pun memanggil teman-teman untuk ikut mendapatkan kue.

Mobil berlalu, saya tanya kepada petugas hotel dalam rangka apa mereka memberi kue kepada kami. Dan saya mendapatkan penjelasan bahwa orang-orang Mekkah pada musim haji seperti ini senang melakukan sedekah kepada jamaah haji. Mereka mendatangi maktab-maktab untuk membagikan sedekahnya.

Dan benar saja, setiap hari saya mendapatkan sedekah itu. Ada yang berupa nasi, kue, minuman atawa buah-buahan segar.

Pantas saja orang Mekkah rejekinya lancar, wong banyak sedekahnya gitu sih!

Bulan Purnama di Laut Merah

Setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, sebagian besar beban telah terlepas, tinggal melaksanakan tawaf wada’ (perpisahan) saja. Waktu yang ada saya pergunakan untuk pergi ke Jeddah, kira-kira 2 jam perjalanan dari Mekkah.

Tujuan pertama adalah Masjid Qishas, masjid yang setelah shalat jumat biasa digunakan untuk melaksanakan hukum qishas. Saya melakukan shalat asar di sana. Sambil memandangi menara masjid, saya nikmati kentang goreng seharga 2 riyal yang dijual oleh pedagang dari India. Setelah puas, perjalanan saya lanjutkan dengan berkeliling kota Jeddah.

Jeddah lebih terbuka dari pada Mekkah, kotanya lebih modern serasa di Jakarta saja. Pusat-pusat perbelanjaan sangat banyak, juga taman-taman kota yang dipenuhi orang menikmati udara petang. Taman kota dipenuhi kreasi seni berupa patung-patung abstrak, ada juga patung sepeda yang ukurannya raksasa. Air mancur (katanya tertinggi di dunia) menambah indah kota Jeddah. Tak terasa kendaraan yang membawa saya sampai ke areal Laut Merah. Mirip suasana Ancol.

Di tepi pantai, banyak orang menggelar tikar sambil pesta BBQ sementara anak-anak bermain bola dan sepeda. Ada juga keluarga yang cuma bercengkerama di antara mereka. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar azan isya dari masjid yang ada di sekitar situ, belakangan diketahui bahwa masjid tersebut biasa disebut Masjid (Ter)apung karena posisinya berada di atas laut. Setelah shalat di sana, saya berjalan sendirian di tepian pantai. Ada sebongkah rindu tanah air di dada ini, apalagi ketika kepala saya mendongak ke atas, bulan purnama ada di sana. Rindu itu susah sekali diungkapkan dengan kata-kata. Bulan serasa makin bulat saja.

Di saat melamun semilir angin menuju ke arah saya membawa aroma bau sate. Dan benar saja, dari arah depan teman saya tergopoh-gopoh membawa beberapa bungkus sate, saya ambil sebungkus. Sate ayam rasa Indonesia, maklum yang jualan orang Madura. Untuk menghangatkan badan, saya membeli teh panas tanpa susu seharga 1 riyal. Kembali saya nikmati indahnya purnama di Laut Merah.

Perjalanan hari itu diakhiri dengan belanja oleh-oleh di Corniche Commercial Centre, sebelum kembali ke Mekkah.

Can U Speak English, Sir?

Sekitar Masjidil Haram banyak sekali pengemis. Mereka duduk di sepanjang trotoar jalan menuju pintu masuk masjid. Padahal ada puluhan pintu masuk, jadi tinggal hitung saja ada berapa pengemis. Umumnya mereka ini wanita berkulit hitam. Kata-kata yang diucapkan keras-keras saat orang lewat di sekitarnya : “fi sabilillah…sadaqah…” dilagukan dan berulang-ulang diucapkan. Pengemis kecil tak kalah banyaknya, wanita kulit hitam juga. Mereka duduk bersimpuh, kedua tangannya terpotong sampai sikunya dibalut dengan lengan jaketnya. Tetapi jika kebetulan ada operasi polisi, mereka lari menyembunyikan diri. Nah, pada saat lari itulah tiba-tiba tangan-tangan mereka kembali utuh…muncul dari balik lipatan jaketnya…

Ada juga pengemis yang terang-terangan minta, mereka ini laki-laki dewasa datang mendekati kita dan berkata: “sadaqah…riyal…riyal…” Atau anak kecil kulit hitam, dia akan menarik baju kita saat meminta dan akan berakting menangis karena tidak tidak memberi uang. Eh, si anak ini menolak ketika saya kasih uang 1000 rupiah, baru mau pergi setelah saya kasih sebungkus permen mentos.

Pertama kali saya tidak ngeh dengan pengemis model yang ketiga ini. Sepasang suami istri membawa 2 orang anak, satu masih bayi tidur di kereta bayi. Saya bertemu mereka minggu pertama di halaman Masjidil Haram. Ketika berpapasan, yang laki-laki menyapa saya : “Can U Speak English, Sir?” Saya pun berhenti sejenak memperhatikan keluarga ini. Lelaki itu mulai bicara kalau mereka datang dari Pakistan, uangnya habis untuk biaya hotel, sekarang kehabisan bekal tidak ada uang untuk membeli susu anaknya yang masih bayi. 10 Riyal saya berikan kepada lelaki tersebut.

Hari berikutnya saya semakin sering melihat suami-istri mendorong kereta bayi yang mendekati para jamaah. Iseng-iseng saya melewati salah satu dari mereka, siapa tahu saya disapa. Kali ini yang menyapa pihak wanitanya : “Can U Speak English, Sir?” Saya jawab : “Haaa…. aya naon??!!” Mereka pun berlalu.

Secara tak sengaja esoknya saya disapa lagi oleh laki-laki pendorong kereta bayi yang kemarin saya kasih 10 riyal : “Can U Speak English, Sir?” Dengan ekspresi yang sama dengan yang dulu, bergantian saya perhatikan anak dan istrinya, sementara dia nerocos dengan kalimat yang sama ketika bertemu saya dulu.

Maka saya menanggapi begini : “Do U remember me? Yang ngasih 10 riyal tea!!!”

Lelaki itu bilang : “Oh… I’m sorry” sambil mendorong kereta bayi menjauhi saya. Ketika anaknya yang besar menengok, saya tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya.