Mahkamah Nurani di Ujung Ramadhan

Belum juga ada setengah jam, diriku duduk termenung di tengah ruang mesjid melakukan i’tikaf di malam ke dua puluh sembilan, mataku sangat berat untuk dibuka dan tiba-tiba saja diriku ditarik oleh oleh makhluk tinggi besar dan mendudukkanku pada sebuah kursi. Tentu saja aku kaget setengah mati, rasa kantuk pun sirna seketika. Oh, aku kenal kursi ini. Aku dulu pernah duduk di kursi ini, sebagai seorang pesakitan yang tengah disidang pada Mahkamah Nurani.

Ini kali kedua diriku duduk di kursi ini. Ya, di depanku ada meja yang cukup tinggi lengkap dengan kursi kebesaran milik hakim agung. Di belakang kursi ada dinding yang bertuliskan Mahkamah Nurani berwarna emas. Aku pasrah, menunggu apa yang akan terjadi. read more

Berdoa pun kita belum pandai

Menyimak ceramah Ustadz Quraish Shihab di waktu menjelang berbuka puasa dapat mencerahkan hati dan fikiran saya. Salah satu materi yang disampaikan adalah doa yang diperkenankan Tuhan.

Sudah menjadi tradisi di masyarakat kita, jika ada upacara-upacara resmi sering ditutup dengan pembacaan doa. Coba perhatikan, sebagian dari permohonan kita itu bisa jadi tidak memenuhi syarat doa karena tidak jarang dalam kalimat doa tersebut terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita bagaikan berpidato di hadapan Tuhan. Bukankah dalam QS 7 : 55 diperintahkan “berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” read more

Para Pewaris Surga

Matahari yang jaraknya cuma sejengkal di atas kepalaku sungguh membuatku semakin payah saja. Keringat seperti diperas dari tubuhku. Bahkan untuk membasahi kerongkongan dengan air ludah pun tiada bersisa. Orang menyemut, gelisah dengan perasaannya sendiri-sendiri.

Aneh, dari sekian banyak manusia tiada satu pun yang aku kenal. Semua orang asing. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku sendiri berlari ke sana ke mari mencari tempat yang mungkin bisa untuk berteduh. Ah, tapi manalah mungkin. Terik matahari siap membakar apa saja.

Nun di sana, aku menyaksikan antrian manusia yang wajah-wajahnya tiada tergambar kegelisahan. Mereka seperti tidak terpengaruh oleh panasnya matahari kini berada di atas ubun-ubun. Semakin kupercepat langkahku untuk mendekati mereka. Wahai, aku ingin sekali berkumpul dengan mereka. read more